LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM
ILMU KESEHATAN TERNAK
Disusun
oleh :
Brilian Nova J. 23010113140125
PROGRAM STUDI
S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2015
PENDAHULUAN
Kesehatan
ternak adalah suatu aspek penilaian dalam kualitas ternak yang perlu
diperhatikan baik makro maupun mikro. Kualitas kesehatan ternak sangat berpengaruh
pada tumbuh kembangnya ternak baik dalam hasil produksi dan pertumbuhan pada
ternak. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara mengamati warna mata, memeriksa
suhu tubuh, frekuensi nafas, dan konsistensi feses. Pemeriksaan kesehatan
ternak secara fisiologis dapat dilakukan dengan caranekropsi (pembedahan). Pemeriksaan
nekropsi ini penting dilakukan untuk mengetahui penyakit dalam yang diderita
oleh ternak sehingga kita bisa menyimpulkan penyakit yang sedang diderita oleh
ternak.Penyakit
yang diderita oleh ternak
kebanyakan disebabkan oleh
parasit. Parasit merupakan suatu mikroorganisme
jasad renik yang bersifat merugikan.
Tujuan
dari praktikum Ilmu Kesehatan Ternak adalah mengetahui kesehatan ternak melalui pengamatan tingkah laku, pemeriksaan
fisik, pengamatan fisiologis ternak, pengamatan organ dalam ternak dan parasit
yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Manfaat dari praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak adalah mengetahui kondisi kesehatan ternak dan penyakit yang diderita
melalui pemeriksaan fisik dan kondisi organ – organ yang berada di dalam tubuh
ternak, selain itu mengetahui jenis-jenis parasit yang ada dalam ternak.
2
|
MATERI
DAN METODE
Praktikum
Ilmu Kesahatan Ternak dengan materi Anamnesa dilaksanakan pada Sabtu, tanggal 3
Oktober 2015 pukul 13.00-15.00 WIB di peternakan milik bapak Sunarto di Desa
Trangkil Rt 01 Rw 10, Gunung Pati, Semarang, Pemeriksaan Parasit dilaksanakan
pada Minggu, tanggal 25 Oktober 2015 dan Nekropsi dilaksanakan pada Minggu, 18
Oktober 2015 pukul 10.30-12.30 WIB di Laboratorium Kesehatan Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
2.1. Materi
2.1.1. Anamnesa
Materi
yang digunakan dalam praktikum ini adalah kambing jawarandu dan anakan kambing jawarandu.
Alat yang digunakan pada praktikum anamnesa adalah stetoskop untuk mengukur frekuensi denyut nadi ternak dan mengukur
gerakan rumen ternak, thermometer
untuk mengukur suhu rektal pada ternak, stopwatch
untuk penghitung waktu, dan alat tulis digunakan untuk mencatat hasil dari
wawancara dan hasil pengamatan.
2.1.2. Pemeriksaan Parasit
Materi yang digunakan dalam
praktikum ini adalah preparat awetan parasit (ektoparasit dan endoparasit) dan
feses kambing jawarandu dan anakan kambing jawarandu. Alat yang digunakan dalam
praktikum pemerisaan parasit adalah mikroskop untuk melihat ada tidaknya
parasit pada feses, obyek glass untuk
meletakan sampel, kaca penutup untuk menutup sampel, mortar untuk menghaluskan
feses dan sentrifuge untuk memutar
tabung pada pemeriksaan sentrifuge, tabung reaksi untuk tempat sampel pada
pemeriksaan sentrifuge. Bahan yang
digunakan antara lain air, formalin dan larutan gula jenuh.
2.1.3. Nekropsi
Materi yang digunakan dalam praktikum ini adalah
satu ekor ayam broiler. Alat yang digunakan pada praktikum nekropsi adalah spluit untuk megambil sampel darah ayam,
pisau yang digunakan untuk menyembelih ayam, gunting bedah untuk melakukan
pembedahan, pita ukur untuk mengukur panjang masing-masing organ bagian dalam,
kamera untuk mengambil gambar kondisi organ, dan alat tulis untuk mencatat
hasil pengamatan.
2.2. Metode
2.2.1. Anamnesa
Metode
yang dilakukan yaitu dengan cara mewawancai peternak. Menanyakan tentang
riwayat kesehatan ternak dan manajemen pemeliharaannya. Pemeriksaan kesehatan
ternak dilakukan dengan cara mengamati tingkah laku ternak, nafsu makan,
gerakan ternak dan pemeriksaan fisik yang meliputi suhu rektal, gerak rumen,
denyut nadi. Pengamatan disekitar lokasi peternakan antara lain adalah jarak
antar kandang, jarak dengan sumber air , tempat pakan dan air memadai , suhu
udara, bangunan kandang dan kebersihan kandang.
2.2.2. Pemeriksaan
Parasit
Metode
yang digunakan dalam pemeriksaan feses metode natif adalah mengambil feses dan
meletakan pada obyek glass.
Menuangkan air dan tutup dengan kaca penutup. Mengamati dibawah mikroskop
dengan perbesaran 10 x 10.
Metode
yang digunakan dalam pemeriksaan sentrifugeadalah dengan mengambil sampel, meletakan
pada mortar, menambahkan air dan menuangkan ketabung sentrifuge hingga ¾.
Memutar sentrifuge selama 5 menit. Menuangkan cairan jernih bagian atas dan
menambahkan larutan gula jenuh sampai ¾ bagian tabung. Memutar kembali selama 5
menit. Meneteskan larutan gula jenih kembali sampai permukaan air menjadi
cembung. Menempelkan objek glass dan
langsung dibalik. Menutup bagian tersebut denga kaca penutup. Mengamati dibawah
mikroskop dengan perbesaran 10 x 10.
Metode
yang digunakan dalam pengamatan ektoparasit dan endoparasit adalah dengan mengamati
preparat awetan parasit, mengidentifikasi berdasarkan ciri khusus dan
menggambar serta mecatat hasil pengamatan.
2.2.3. Nekropsi
Metode yang digunakan
adalah dengan melihat dan mengamati konsidi fisik dari ayam meliputi
pemeriksaan tingkah laku ayam dan pemeriksaan fisik ayam. Melakukan
penyembelihan pada ayam dengan cara memotong tiga saluran (saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan saluran pembuluh darah) yang ada pada leher unggas
dengan menggunakan pisau tajam. Meletakkan unggas pada meja bedah. Melakukan
nekropsi, melihat organ bagian dalam mulai dari warna ada atau tidakya kelainan
pada masing-masing organ bagian dalam. Melakukan pengukuran pada masing-masing
organ bagian dalam mulai dari saluran pencernaan, pernafasan, sistem peredaran
darah dan sistem kekebalan tubuh. Melakukan uji apung pada paru-paru.
Metode yang dilakukan dalam pengambilan sampel darah
yaitu dengan mengambil darah pada bagian sayap (vena bracialis) dengan menggunakan jarum
suntik dan mengamati perubahan yang terjadi.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Anamnesa
dan Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia
Berdasarkan anamnesa
dan pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia diperoleh hasil sebagai berikut:
Ilustrasi
1. Anamnesa dan Pemeriksan Kesehatan Ternak Ruminansia
|
Bapak
Sunarto pemilik peternakan kambing yang berada di Desa Trangkil Rt 01 Rw 10.
Bapak Sunarto mulai mendirikan peternakan pada tahun 1980. Bapak Sunarto mendapatkan ilmu beternak dari
Sekolah Pertanian. Jumlah kambing yang dimiliki Bapak Sunarto yaitu 30 ekor,
terdiri dari 20 ekor kambing jantan dan 10 ekor betina. Penyakit yang sering
menyerang ternak kambing di peternakan ini yaitu gatal atau penyakit kulityang
dapat mempengaruhi penurunan produktivitas ternak, penyakit tersebut dapat
ditimbulkan karena adanya infeksi parasit Sarcoptes
scabiei jika terlalu lama ternak tidak mendapatkan penanganan maka ternak
yang terkena penyakit kulit ini bisa mati. Hal ini sesuai dengan pendapat Noach
(2013) yang menyatakan bahwa penyakit Scabies
adalah salah satu jenis penyakit kulit yang sering menyerang ternak kambing
yang disebabkan oleh Sarcoptes Scabiei, apabila
tidak segera diobati akan mengalami kematian dalam waktu 3 (tiga) bulan.
Ditambahkan dengan pendapat Kasmar (2015) yang menyatakan bahwa Scabies merupakan penyakit kulit yang
sering menyerang pada ternak dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini
disebabkan oleh Sarcoptes scabiei
yang ditandai dengan gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada
kulit yang terserang.
3.1.1. Pengamatan
Kondisi Lingkungan dan Kandang Ternak
Berdasarkan
pengamatan kondisi lingkungan dan kandang diperoleh hasil sebagai berikut:
Ilustrasi 2. Pengamatan
Kondisi Lingkungan dan Kandang Ternak
|
Berdasarkan hasil praktikum tentang
pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak didapatkan hasil bahwa kandang
bersifat semi permanen yaitu terbuat dari kayu dan berbentuk panggung. Tipe
kandang yang semi permanen dapat digunakan ternak sebagai tempat tinggal yang
nyaman bagi ternak dan dengan tipe kandang berbentuk panggung memudahkan dalam
hal sanitasi kandang. Menurut Zaida et
al. (2008) kandang ada dua tipe yaitu tipe permanen dan semi
permanen.Jarak
kandang dengan rumah sekitar 10 meter dan lingkungan sekitar yang mendukung
serta terpaan angin yang tidak begitu kencang. Kandang ini masuk dalam kategori
kandang yang baik karena dengan jarak 10 meter dari rumah dapat mengurangi
polusi udara selain itu penyebaran penyakit dari ternak dapat diminimalisir.
Menurut Susilorini et al. (2009) agar
kambing merasa nyaman tinggal didalamnya kandang harus memiliki persyaratan
antara lain kandang harus kering dan tidak lembab, cukup mendapatkan sinar
matahari, harus terhindar dari tiupan angin langsung, letak kandang minimal 5
meter dari rumah, konstrusi kandang harus kuat dan tahan lama serta bahan
kandang yang ekonomis dan mudah didapat.
Tanaman
yang tumbuh disekitar kandang ada pohon lamtoro, bambu, pisang, mangga, dan
gamal yang digunakan sebagai pakan ternak serta pelindung ternak dari terpaan
angin. Menurut Astuti (2009) pohon-pohon pelindung perlu ditanam sebagai
pemecah angin sehingga ternak tidak terkena angin secara langsung. Sumber air
minum ternak berasal dari air sumur dengan kondisi saluran pembuangan feses
yang baik. Ternak yang dipelihara disekitar kandang
antara lain sapi, ayam dan itik dengan jarak yang tidak begitu dekat dengan
peternakan kambing. Menurut Zaida
et al.
(2008) menyatakan tidak ada masalah disekitar peternakan ada peternakan lain asalkan
tidak saling menggangu.
3.1.2 Pemeriksaan Kesehatan
Ternak Ruminansia
Pemeriksaan kesehatan ternak
ruminansia, dapat melalui dua cara yaitu
pemeriksaan tingkah laku dan pemeriksaan fisik tubuh ternak. Berdasarkan
pemeriksaan kesehatan ternak ruminansia diperoleh hasil sebagai berikut :
3.1.2.1. Pemeriksaan Tingkah Laku,Berdasarkan pemeriksaan
kesehatan ternak ruminansia diperoleh hasil sebagai berikut :
Ilustrasi 3. Pengamatan
Tingkah
Laku
Ternak
|
Hasil pengamatan tingkah laku diketahui bahwa
kedua hewan ternak dalam keadaan yang sehat dan bergerak aktif. Hal ini dapat
dilihat dari gerakan ternak yang lincah dan sikap dalam menanggapi perubahan
sekitar. Hal ini sesuai dengan pendapat Akoso (2006) yang menyatakan bahwa
ternak yang sehat begerak yang aktif, memiliki sikap yang sigap dan tanggap
terhadap perubahan situasi sekitar yang mencurigakan. Nafsu makan dan minum
juga dalam keadaan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (2010) yang
mengatakan bahwa ternak yang sehat akan memiliki nafsu makan yang tinggi.
Ternak yang diamati adalah kambing jenis jawarandu yang berjenis kelamin betina
dengan masing-masing umur indukan dan anakan adalah 2 tahun dan 7 hari.
Pemeriksaaan terhadap tingkah laku merupakan pemeriksaan awal untuk mengatahui
gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit, biasanya dapat dilihat dari
kelainan sikap seperti pada saat berdiri. Dari hasil pengamatan didapatkan
hasil bahwa pada ternak kambing dalam keadaan normal yaitu posisi kaki tegap
dan keempat kakinya lurus serta tidak memiliki kelainan kaki berbentuk X
ataupun O. Akoso (2006) menyatakan bahwa struktur kaki yang lurus dan simestris
akan lebih kuat menopang berat badan ternak, karena beban berat tubuh akan ditahan
dengan seimbang oleh kaki-kakinya.
3.1.2.2.
Pemeriksaan Fisik Tubuh Ternak, Berdasarkan pemeriksaan kesehatan
ternak ruminansia diperoleh hasil sebagai berikut :
Ilustrasi 4. Pemeriksaan
Fisik Tubuh Ternak
|
Berdasarkan hasil praktikum untuk kambing
indukan memiliki temperatur tubuh sebesar 39,98C, kecepatan pulsus sebesar 57
kali/menit dan gerak rumen 8 kali/ menit. Sedangkan pada kambing anakan/cempe
memiliki temperatur tubuh sebesar 40⁰C dan tidak adanya gerak rumen. Hal ini
menunjukan bahwa ternak dalam keadaan fisiologis yang normal karena angka
tersebut masih dalam kisaran standar. Menurut Sonjaya (2010) suhu tubuh rektal
pada kambing muda berada pada level 38,76oC-39,44oC dan pada
kambing dewasa 39,4oC, frekuensi nafas yang normal dijumpai yakni
pada kisaran 10-20kali/menit dan gerak rumen 5 kali/menit. Pada anakan
didapatkan hasil tidak ada pergerakan rumen. Hal ini dikarenakan pada anakan
cempe berumur 7 hari rumen belum berfungsi karena belum adanya aktivitas
konsumsi pakan hijauan. Menurut Widiyono et al. (2003) bahwa gerak rumen mulai
dapat terdeteksi pada umur 4 minggu (28-33 hari) dengan frekuensi sebesar 0,63
kali/menit dan cenderung meningkat seiring bertabahnya umur menjadi 1,75
kali/menit (umur 84-90 hari).
3.2. Pemeriksaan
Mikroskopis Feses
Pemeriksaan mikrosopis feses,
dapat melalui dua cara yaitu pengamatan
feses metode natif dan pengamatan feses metode sentrifuge. Berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis feses diperoleh hasil sebagai berikut :
3.2.1. Pemeriksaan
Feses Metode Natif
Berdasarkan pemeriksaan feses induk dan anakan
kambing tidak ditemukan adanya telur cacingyang menunjukan bahwa kambing dalam
keadaan sehat. Hal ini dikarenakan pemberian obat cacing secara rutin oleh
peternak, Pencegahaan penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat dicegah
menggunakan obat cacing untuk membunuh telur cacing pada saluran pencernaan,
sehingga telur tidak dapat berkembang menjadi cacing. Menurut pendapat Akoso
(1996) menyatakan bahwa pencegahan
penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat ditanggulangi dengan pemberian obat
cacing. Ternak betina mempunyai antibodi yang bagus sehingga ternak betina
tidak mudah terkena penyakit Menurut pendapat Hernasari (2011)menyatakan bahwa ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai
jenis penyakit dan ternak betina juga jarang dipekerjakan terutama dalam
kondisi bunting dan menyusui akibat dari hormon estrogen pada ternak betina
memiliki sifat pemacu sel-sel Reticulo Endothelial System (RES) dalam membentuk
antibodi terhadap parasit.
3.2.2.
Pemeriksaan Feses Metode Sentrifuge
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan
hasil sebagai berikut :
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber
: www.nhm.ac.uk
|
Ilustrasi 6. Pemeriksaan Feses Metode
Sentrifuge
|
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data bahwa
pada sampel feses yang diamati pada feses induk ditemukan telur cacing Fasciola
hepatica. Telur ini memiliki ciri berbentuk oval, berdinding halus dan
tipis berwarna kuning. Menurut Hernasari
(2011) bahwa telur cacing Fasciola
hepatica memiliki bentuk bulat dan berdinding halus serta bersifat sangat
permiabel, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya. Munadi (2011)
menambahkan siklus hidup cacing ini mula-mula dari telur yang keluar dari tubuh
ternak bersama dengan feses ternak, telur akan menetas jika berada dalam air
selama 9-15 hari dan akan mencari keong. Setelah dewasa serkaria dari fasciola
hepatica tersebut akan keluar dari keong berenang
3.3. Pengamatan Preparat Parasit
Pengamatan preparat parasit
meliputi endoparasit dan ektoparasit. Berdasarkan pengamatan preparat parasit
diperoleh hasil sebagai berikut :
3.3.1. Endoparasit
Endoparasit
merupakan parasit yang hidupnya didalam tubuh. Menurut Diba (2009) endoparasit
adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yang umumnya termasuk ke dalam
Filum Platyheminthes, Nemathelminthes dan Protozoa. Endoparasit dalam tubuh
inang terdapat dalam sistem tubuh inang yaitu sistem pencernaan (duodenum,
ileum, jejunum, sekum, kolon dan rektum),
sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Berdasarkan habitat parasit dalam
tubuh inang maka analisis endoparasit dapat dilakukan melalui feses. Menurut
Marquard & Petersen (1997) feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit
yang hidup di saluran pencernaan.
3.1.1.1. Ascaris sp, Berdasarkan
hasil praktikum didapatkan hasil sebagai berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber
: agroua.net
|
Ilustrasi 7 . Ascaris sp
|
Berdasarkan
hasil praktikum didapatkan hasil bahwa pada Ascaris
sp berbentuk memanjang, bulat, dan berwarna putih kekuningan. Menurut Hernasari (2011) cacing Ascaris lumbricoides mempunyai bentuk
tubuh silindris dengan ujung anterior lancip, cacing betina panjangnya 20-35
cm, sedangkan cacing jantan panjangnya 15-31 cm. Ascaris lumbricoides merupakan parasit yang sering dijumpai pada
manusia dan sedangkan ascaridia galli merupakan parasit pada ayam. Menurut
Tiwow et al. (2013), ascaris merupakan cacing yang masuk
dalam kelompok soil-transmitted yang banyak ditemukan pada masyarakat. Menurut Putra et al. (2013)
daur hidup ascaris
sp dimulai dari telur yang tertelan dalam tubuh inang akan menetas di usus
halus menjadi larva yang tidak akan langsung menjadi dewasa melainkan melakukan
migrasi di dalam tubuh inangnya. Selama migrasi larva akan menembus dinding
usus dan masuk ke dalam vena kecil atau pembuluh limfe, melalui sirkulasi darah
portalmasuk ke hati, kemudian menuju jantung untuk melanjutkan perjalanannya ke
paru-paru dan setelah itu keluar dengan pecahnya kapiler dan akan menuju
alveoli, untuk kemudian bersama aliran darah masuk ke dalam bronchiolus. Dari
bronchiolus larva akan naik ke trachea sampai epiglotis, dan turun melalui
oesophagus ke usus halus dan mengalami perubahan terakhir dalam waktu 21–29
hari setelah infeksi. Cacing menjadi dewasa dan melakukan perkawinan untuk
melengkapi siklus hidupnya dalam waktu 50– 55 hari.
3.1.1.2. Moniezia,
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil sebagai
berikut :
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber
: www.thepoultrysite.com
|
Ilustrasi 8. Moniezia
|
Berdasarkan hasil
praktikum didapatkan hasil bahwa Moniezia
memiliki bentuk yang panjang dan pipih, memiliki badan yang besar dengan
ujung pipih dan berwarna putih. Menurut Suwandi (2001) Moniezia sp.
termasuk dalam cacing kelas cestoda (cacing pita) yang mempunyai ciri-ciri
tubuh bersegmen, mempunyai scolex
leher, proglotida (telur berembrio), hemaprodit, reproduksi ovipar dan berbiak dalam bentuk larva, infeksi
umum oleh larva dalam kista yang hidup dalam usus
kecil pada sapi dan kerbau. Moniezia selain banyak ditemukan dalam usus sapi dan kerbau
banyak juga ditemukan pada kambing. Menurut Putra
et al. (2013)
Moniezia
sp meskipun
sedikit, tetapi rentan ditemukan pada kambing. Tempat kegemaran yang lebih dari
daerah perut, dada, kaki dan punggung, yang mungkin yang memiliki lebih
sedikit bulu yang menutupi dan kulit. Menurut
Adiwinata dan Sukarsih (1992) daur hidup Moniezia sp dimulai dari telur atau
proglotid akan keluar bersama feses dan akan mencemari rumput yang ada pada
lapangan, telur yang berada pada feses akan termakan oleh tungau. Didalam tubuh
tungau telur yang termakan akan berkembang menjadi L4 dan tungau akan termakan
bersama rumput pada saat sapi atau domba, kambing merumput dan pada usus halus
ternak cacing akan berkembang menjadi cacing dewasa yang akan menempel pada
mukosa usus ternak.
3.2.1.3. Dilofilaria
sp, Berdasarkan praktikum didapatkan hasil
sebagai berikut :
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber
:www.thepoultrysite.com
|
Ilustrasi 9. Dilofilaria sp
|
Berdasarkan
hasil praktikum diketahui bahwa Dilofilaria
sp memiliki ciri-ciri berbentuk memanjang, tubuh silindrir berukuran kecil
dan berwarna putih. Menurut Otranto et al.
(2011) dirofilaria merupakan cacing ramping dari golongan nematoda yang
panjang, yang cenderung berwarna putih dan memiliki ukuran 12-13 cm, memiliki
kutikula tebal dengan bagian mulut yang sederhana. Siklus hidup Dirofilaria sp terjadi dalam dua fase;
fase pertama terjadi pada nyamuk dan fase kedua terjadi pada induk semang
definitif. Infeksi cacing jantung sangat melemahkan kondisi hewan penderita dan
bahkan mematikan. Menurut Peribaneza et
al. (2001) siklus atau daur hidup cacing Dirofilaria immitis dapat dijelaskan bahwa cacing betina dewasa
menghasilkan larva stadium pertama yang disebut mikrofilaria. Larva tersebut
masuk melalui sirkulasi darah perifer.
3.3.2. Ektoparasit
Ektoparasit merupakan parasit-parasit yang hidup pada
permukaan luar tubuh hospes atau di dalarn liang-liang pada kulit yang masih mempunyai
hubungan bebas dengan dunia luar. Contoh ektoparasit lalat Stomoxys
(kuda, sapi), kutu, pinjal dan caplak, haematopinus
(sapi) dan linognathus (sapi,
domba, kambing). Hal
ini sesuai dengan pendapat Widiyaningrum (2014) yang menyatakan bahwa ektoparasit
adalah parasit yang hidupnya pada permukaan tubuh bagian luar atau bagian tubuh
yang berhubungan langsung dengan dunia luar dari hospes. Seperti kulit, rongga
telinga,hidung, bulu, ekor dan mata. Ditambahakan oleh pendapat Hadi (2005)
yang menyatakan bahwa ektoparasit
memiliki 2 sifat yaitu obligat dan fakultatif. Ektoparasit yang bersifat
obligat
artinya seluruh stadiumnya menghabiskan seluruh
waktunya pada bulu dan rambut. Ektoparasit yang bersifat fakultatif artinya ektoparasit itu
menghabiskan waktunya sebagian besar di luar inangnya.
3.3.2.1. Musca
domestica, Berdasarkan hasil praktikum
didapatkan hasil sebagai berikut :
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber
: Astuti dan Pradani, 2010.
|
Ilustrasi 10. Musca domestica
|
Mucsa Domestica
(lalat rumah) merupakan serangga yang
berperan sebagai carirer pembawa penyakit yang berkembangbiak di tumpukan
kotoran yang dapat menularkan berbagai jenis penyakit. Tempat peternakan
merupakan tempat yang paling memiliki potensi tertinggi sebagai tempat hidup
larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Putraet
al. (2013) yang menyatakan
bahwa lalat rumah (Musca domestica)
merupakan serangga urban yang dapat berperan sebagai vektor penyakit. Serangga
ini umumnya menggunakan limbah organik sebagai sumber makanan bagi larvanya.
Area peternakan di Indonesia umumnya terletak pada lokasi yang berdekatan
dengan tempat tinggal penduduk sehingga diperlukan suatu metoda untuk
pengendalian populasi lalat rumah pada daerah peternakan. Musca domestica memiliki
cirri-ciri khusu yaitu warna badan hitam, berukuran kecil, memiliki sayap dan
bagian ekor berwarna putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Astuti dan Pradani (2010) yang menyatakan
bahwa lalat dapat berkembangbiak dengan cepat, hal ini dipengaruhi oleh ukuran
badan lalat yang kecil, dapat
terbang jauh, memiliki sirklus hidup
yang pendek, termasuk hewan om-nivorous (pemakan segalanya) dan lalat juga
mempunyai daya reproduksi yang cukup tinggi dan merupakanbeberapa generasi dalam satu tahun (multivoltine). Semua lalat mengalami metamorfosis sempurna dalam
perkembangannya. Daur hidup Mucsa
Domestica (lalat rumah) yaitu
mulai dari telur kemudian menjadi larva
umumnya larva lalat mengalami empat kali molting (berganti bulu atau kulit) selama
hidupnya. Periode makan bisa berlangsung beberapa hari atau minggu, tergantung
suhu, kualitas makan, jenis lalat dan faktor lain. Setelah itu berubah menjadi
pupa.
Stadium pupa bisa beberapa hari, minggu atau bulan.
Lalat dewasa muncul, kemudian terbang untuk mencari pasangan untuk kawin, dan
yang betina setelah itu akan bertelur.
Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2015.
|
Sumber : www.google.com
|
Ilustrasi
11. Bovicola bovis
|
3.3.2.2. Bovicola
bovis, Berdasarkan hasil praktikum didapatkan
hasil sebagai berikut :
Bovicola bovis merupakan parasit yang
dapat menyebabkan penyakit kulit pada ternak. Bovicola bovis mempunyai
ciri khusus yaitu memiliki tubuh berukuran kecil,
badan berwarna coklat dan memiliki
ciri pembeda pada parasit lain yaitu pada bagian kepala yang berwarna merah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (2010) yang menyatakan bahwa Bovicola
bovis merupakan kutu penggigit yang memiliki ciri yang membedakan pada parasit lain yaitu warna
kepala kemerahan dan pada bagian
perut berwarna coklat dan terdapat garis garis
gelap. Ditambahkan dengan
pendapat Iskandar ( 2005 ) yang menyatakan bahwa
penyakit kulit yang mungkin saja terjadi pada ternak dapat dipengaruhi oleh Bovicola bovis. Bovicola bovis memiliki empat
stadium yaitu dimulai dari telur kemudian menjadi larva lalu pupa hingga
menjadi dewasa.
3.3.2.3. Tabanidae
tabanus sp, Berdasarkan hasil praktikum
didapatkan hasil sebagai berikut :
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber : Luk Keng, 1982.
|
Ilustrasi 12. Tabanidae tabanus sp
|
Tabanidae tabanus sp
merupakan serangga pembawa vektor penyakit utama yang menyebarkan penyakit jenis surra di Indonesia.
Ciri khusus yang dimiliki Tabanidae
tabanus sp adalah memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, warna badan hijau
muda dan pada bagian sayap berwarna coklat. Tabanidae
tabanus sp dapat menyebabkan iritasi kulit pada ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Iskandar (2005)
yang menyatakan bahwa Tabanidae tabanus
sp merupakan serangga pembawa vektor penyakit surra pada ternak di
Indonesia. Ternak yang terkena penyakit
surra akan muncul ciri-ciri seperti gelisah, lebih diam dan nafsu makan
berkurang. karena adanya iritasi pada kulit. Kebersihan dan pemeliharaan
kandang yang kurang diperhatikan merupakan sumber utama serangan ektoparasit. Hal
ini sesuai dengan pendapat Dwiyani et al.
(2014) yang menyatakan
bahwa ternak yang terkena iritasi pada kulit dapat membuat ternak menjadi gelisah, nafsu makan berkurang dan ternak
lebih banyak diam karena adanya iritasi pada kulit yang dapat menurunkan menurunkan
produktivitas. Hal ini dikarenakan kurangnya kebersihan dan pemeliharaan
kandang yang kurang diperhatikan merupakan sumber utama serangan ektoparasit.
Menurut Hastiono (1983) siklus hidup Tabanus
rubitus ada empat stadium yaitu dimulai dari telur kemudian menjadi larva
lalu pupa hingga menjadi dewasa.
3.4. Pemeriksaan
Kesehatan Ayam
Berdasarkan praktikum pemeriksaan kesehatan ayam
diperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber : www.google.com
|
Ilustrasi 13. Pemeriksaan Kesehatan
Ayam
|
Berdasarkan
pemeriksaan kesehatan ayam diperoleh hasil bahwa ayam yang digunakan adalah
ayam jenis broiler jantan umur 28 hari dengan kondisi sehat. Ayam yang diamati
memiliki tingkah laku yang lincah, memiliki mata yang bersinar, memiliki bulu
yang merapat dan kondisi kaki yang tegak dan tidak cacat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Suprijatna
et al. (2005) yang menyatakan bahwa
ayam tipe pedaging yang sehat yaitu berbentuk tubuh besar, pertumbuhan cepat,
bulu merapat ke tubuh, kulit putih, dan produksi telur rendah. Ayam yang
sehat memiliki paru-paru yang
terlihat normal bewarna merah segar, konsistensi kenyal dan pada pengujian
apung paru-paru terapung pada air. Pengujian apung ini bertujuan untuk menentukan kualitas dari paru-paru ayam
tersebut, apabila pada pengujian apung paru-paru tidak terapung atau tenggelam
berarti kualitas paru-paru tersebut buruk. Pada
uji apung paru-paru yang sehat akan mengapung karena pada alveolarnya
berisi oksigen. Hal
ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang menyatakan bahwa apabila pada saat ditekan paru-paru pecah atau tidak
kenyal berarti kualitas paru-paru tersebut buruk.
Dibandingkan
dengan ayam yang menderita penyakit coryza
jika
dilakukan pembedahanakan terlihat pada daerah trakea terdapat suatu cairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah dan Polana (2004) yang
menyatakan bahwa ayam yang terkena penyakit coryza
akan
ditemukan suatu cairan pada trakea jika dilakukan pembedahan, selain itu
terjadi peradangan pada kantong udara dan paru-paru.
3.4.1. Sistem
Saluran Pernafasan
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil sebagai
berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber : Damayanti et al., 2012.
|
Ilustrasi 14. Sistem Saluran
Pernafasan
|
Berdasarkan
hasil pengamatan pada
praktikum ilmu kesehatan ternak
diperoleh hasil bahwa system pernapasan
pada ayam terdiri dari hidung, trakea dan
paru-paru. Pada pengamatan sistem saluran pernafasan pada ayam terlihat sehat, ini terlihat dari trakea ternak
terlihat bersih, pada paru-paru terlihat normal bewarna merah segar dan konsistensi kenyal. Menurut Fadilah dan Polana (2004)
apabila pada saat
ditekan paru-paru pecah / tidak kenyal berarti kualitas
paru-paru tersebut jelek. Ayam yang digunakan dalam praktikum tidak terdapat kelainan
maupun bercak-bercak pada paru-parunya. Hal ini menandakan bahwa ayam sehat dan
tidak terkena penyakit Pullorum.
Menurut Poernomo (2004) yang menyatakan bahwa ayam
yang terserang penyakit seperti Pullorum akan mengalami perubahan anatomis
pascamati yaitu kantong kuning telur tidak terabsorpsi, fokal nekrose pada hati
dan limpa, terdapat nodul berwarna abu-abu pada paru-paru dan jantung serta
mengalami peradangan pada jantungnya (pericarditis).
Pada
pengujian apung didapatkan paru-paru terapung pada air. Pengujian
apung ini sangat
menentukan kualitas dari paru-paru ayam
tersebut, apabila pada pengujian apung
paru-paru tidak terapung / tenggelam berarti kualitas
paru-paru tersebut jelek. Pada uji apung
paru-paru yang sehat akan mengapung karena pada alveolarnya berisi oksigen. Fadilah dan Polana (2004) menyatakan
selain dengan uji
apung kita juga
dapat menentukan kualitas
paru-paru dengan cara ditekan.
3.4.2. Sistem
Peredaran Darah
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil sebagai
berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber: Fadilah
dan Polana, 2004.
|
Ilustrasi 15 . Sistem Peredaran Darah
|
Berdasarkan
hasil praktikum diketahui bahwa sistem peredaran darah ini terdiri dari darah, pembuluh
darah, dan jantung. Fungsi utama sistem peredaran darah adalah mengalirkan
darah dari jantung ke seluruh sel tubuh dan kembali lagi ke jantung.
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil pada jantung memiliki panjang 4
cm, berwarna merah kecoklatan, selaput jantung bersih dan kosistensi yang
kental. Hal ini menandakan tidak adanya penyakit yang terdapat pada jantung.
Menurut Jahja et al. (2006) yang menyatakan bahwa kondisi
umum jantung yang sehat pada ayam antara lain berwarna coklat pucat, selaput
jantungnya bersih, konsistensi kenyal, dan tidak ada pendarahan. Menurut
Hermana et al. (2008) jantung yang
terinfeksi penyakit maupun racun biasanya akan mengalami perubahan ukuran
jantung.
Pengambilan darah pada ayam dilakukan
dengan menggunakan jarum suntik yang ditusukkan ke pembuluh darah paga bagian
sayap. Menurut Tabbu
(2000) pengambilan darah pada ternak
dilakukan dibagian vena jugularis dan vena brachiallis, pemeriksaan ini dapat
mendiagnosis penyakit pada ternak. Darahyang sudah diambil dibiarkan
terlihat adanya pengendapan.
Pengendapan ini terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan bawah yang berwarna
merah merupakan sel darah merah dan cairan berwarna kurning sebagai serum.
Fungsi dari sel darah merah adalah sebagai pembawa oksigen sedangkan serum
berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh ayam. Menurut Julendra et al. (2010) sel darah merah adalah sel
yang sangat kecil berisi hemoglobin dan protein pengikat oksigen. Ditambahkan
oleh Wijiastuti et al. (2013) bahwa
fungsi dari serum adalah sebagai pengangkut, imunitas dan buffer.
3.4.3. Sistem
Pencernaan
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil sebagai
berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber : Yuwanta,
2004.
|
Ilustrasi 16 . Sistem Pencernaan
|
Berdasarkan
hasil praktikum diketahui bahwa sistem pencernaan terdiri atas
paruh, esofagus, crop, proventrikulus, ventrikulus, usus halus, sekum, usus besar
dan kloaka. Sistem pencernaan
pada ayam yang diamati dalam
keadaan sehat. Isi saluran pencernaan
pada bagian tembolok,
ventrikulus dan
proventrikulus saat dibedah masih
terdapat butiran-butiran jagung yang berwarna kuning, hal ini dikarenakan fungsi
tembolok yaitu sebagai tempat
penyimpanan pakan sementara. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yuwanta
(2004) yang menyatakan
bahwa fungsi tembolok
yaitu sebagai tempat
penyimpanan pakan sementara terutama saat ayam mengkonsumsi
pakan yang banyak. Bagian
usus tidak ditemukan adanya bintik-bintik merah, hal ini berarti ternak dalam
keadaan sehat. Bintik merah pada usus dapat
mengindikasikan bahwa ternak tersebut menderita radang usus (clostridial
necrotic enteritis) yang disebabkan oleh microba Clostridium perfringens.
Hal ini sesuai dengan pendapat Natalia
dan Priadi (2005) yang menyatakan bahwa clostridial necrotic enteritis (radang usus) pada
ayam disebabkan oleh Clostridium perfringens (Cl.perfringens) tipe A
dan C, yang ditandai dengan adanya tanda kemerahan pada otot usus dari yang
ringan hingga parah (otot usus berwarna merah secara menyaluruh).
3.4.4. Sistem
Saraf dan Kekebalan Tubuh
Berdasarkan praktikum diperoleh hasil sebagai
berikut:
Sumber: Data
Primer Praktikum Ilmu Kesehatan
Ternak, 2015.
|
Sumber : www.scoop.it
|
Ilustrasi 17. Sistem Saraf dan Kekebalan
Tubuh
|
Berdasarkan praktikum pemeriksaan saraf diperoleh hasil bahwa warna dari saraf yaitu putih,
ukurannya 2,5 cm dan tidak ada kelainan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
saraf masih dalam kondisi yang sehat, normal dan tidak terkena penyakit. Hal ini sesuai
dengan
pendapat Suprijatna et al. (2008)
yang menyatakan bahwa
saraf
pada
unggas
berbentuk memanjang putih dan merupakan satu kesatuan
yang dapat mengontrol semua
fungsi
pada
tubuh. Akoso
(2000) menyatakan dalam tubuh hewan terdapat tiga macam sistemsyaraf yaitu
sistem syaraf pusat, sistem syaraf tepi, dan sistem syaraf simpatetik. Sistem saraf berfungsi mengatur
semua organ tubuh. Menurut Yuwanta (2004) bahwa sistem saraf dibagi menjadi dua
bagian, yaitu sistem saraf otak atau somatik yang bertanggung jawab terhadap
gerakan tubuh pada kondisi sadar dan sistem saraf otonom yang
bertanggung jawab dalam koordinasi gerak dibawah sadar.
Berdasarkan praktikum pemeriksaan kekebalan tubuh diperoleh hasil bahwa ayam sudah
tidak mempunyai bursa fabrisius karena faktor dari usia ayam yang sudah tidak
tergolong muda lagi. Jahja et al. (2006)
menyatakan bahwa bursa fabrisius
berbentuk seperti bunga. Fungsi
dari bursa fubrisius adalah memproduksi antibodi pada ayam muda. Sistem
kekebalan tubuh lain adalah tymus. Organ timus ini memroduksi limfosit
yang lebih dikenal dengan sebutanlimfosit T (T-lymphocytes) atau T-cells.
Sel-sel ini secara umum bertanggung jawab sebagaisel
mediasi (cell-mediated) terhadap reaksi kekebalan dan untuk mengatur
reaksi sistem kekebalan. Menurut Jamilah et
al. (2013) tymus adalah indicator ketahanan tubuh. Penyakit yang menyerang
ketahanan tubuh salah satunya adalah gumboro. Menurut Yaman (2013) penyakit
gumboro menyerang kekebalan tubuh ayam, terutama bursa fabrisius dan kelenjar
timus yang merupakan pusat pertahanan tubuh ayam.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil praktikum Ilmu Kesehatan Ternak didapatkan hasil pada pengamatan amnanesa
pada pegamatan tingkah laku dan pemeriksaa kondisi ternak kambing dalam keadaan
sehat. Hal ini dilihat dari sikap ternak yang aktif dan lincah, selain itu
kondisi ternak mulai dari suhu rektal, denyut nadi dan gerak rumen dalam
keadaan normal. Pada pemeriksaan
mikroskopis, pada natif tidak ditemukan adanya telur cacing sedangkan pada
pemeriksaan sentrifuge ditemukan telur cacing Fasciola hepatica. Pengamatan preparat parasit awetan pada pengamatan endoparasit terdiri
dari Ascaris sp, Moniezia dan Dilofilaria sp, sedangkan pada ektoparasit terdiri dari Musca domestica,
Bovicola bovis, Tabanidae tabanus sp.Pada nekropsi ayam yang
digunakan dalam keadaan sehat. Hal ini dilihat dari tidak adanya kelainan
padasistem saluran pernafasan, sistem peredaran darah, sistem pencernaan,
sistem syaraf dan kekebalan tubuh.
4.2. Saran
Pada acara nekropsi
pelaksanaan harus dengan hati – hati agar tidak terjadi kerusakan pada organ
yang diamati selain itu pada pemeriksaan parasit harus dilakukan dengan cermat
sehingga dapat melihat parasit yang ada pada feses hewan ternak
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwinata, G dan Sukarsih. 1992.
Gambaran darah domba yang terinfeksi cacing nematoda saluran pencemaan secara
alami di Kab. Bogor (Kec.Cijeruk, Jasinga dan Rumpin) . Penyakit Hewan 24 (43) : 13-16.
Akoso, T.B.
2006. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Astuti, D. A. 2009. Petunjuk
Praktis Menggemukan Domba, Kambing dan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta
Astuti. E. P., dan F. Y. Pradani. 2010.Pertumbuhan dan reproduksi
lalat Musca domestica pada berbagai
media perkembangbiakan. Dalam : L. Hakim, R.N.R.E Santya, H. Siswantoro, S.
Prawoto, R. Nainggolan, M. Ipa, H. Prasetyowati, M.U. Riandi, J. Hendri. Jurnal
AspiratorLoka
Litbang P2B2 Ciamis 2(1): 11-16.
Damayanti, Y., I.B.O.Winaya dan
M.D.Rudyanto.2012. Evaluasi penyakit
virus pada kadaver broiler berdasarkan pengamatan patologi anatomi di rumah
pemotongan unggas . Indonesia Medicus Veterinus. 1(3) : 417-427.
Diba, D. F. 2009. Prevalensi dan
Intensitas Infestasi Endoparasit berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air
Tawar (Coura amboinesis) di Perairan
Sulawesi Selatan. Fakultas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Dewi, K daan R. T. P. Nugraha. 2007.
Endoparasit pada feses Babi Kutil (Sus
verrucosus) dan prevalensinya yang berada di kebun binatang Surabaya. Zoo
Indonesia 16(1):13 – 19.
Dwiyani, N. P., N. Setiati, dan P.
Widiyaningrum.2014.Ektoparasit pada ordo artiodactyla di taman margasatwa Semarang. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Jurusan Biologi. Universitas Negeri
Semarang. Semarang. Vol 2(3):124-129.
Fadilah,
R. 2013. Beternak Ayam Broiler. Agromedia,
Jakarta.
Fadilah,R dan A, Polana.
2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agromedia
Pustaka.Jakarta.
Hadi, U. K dan S, Saviana.
2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Institut
Pertanian Bogor Press, Bogor.
Hastiono, S. 1983.
Penyakit selakarang dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan tenaga kuda bagi
petani. Wartazoa. 1(1): 5-11
Hernasari, P. R. 2011.
Identifikasi Endoparasit pada Sampel Feses Nasalislarvatus,
Presbytis comata, dan Presbytis
siamensis dalam Penangkaran Menggunakan Metode Natif dan Pengapungan dengan
Sentrifugasi. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas
Indonesia, Jakarta (Skripsi)
Hermana, W., D. I. Puspitasari., K. G.
Wiryawan dan S. 2008. Suharti. Pemberian tepung daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.)dalam ransum sebagai bahan antibakteri Escherichia
coli terhadaporgan dalam ayam broiler. Media Peternakan 31(1) : 63-70
Iskandar T. 2005. Gambaran agen parasit pada ternak Sapi
Potong di salah satu peternakan di Sukabumi.
Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Stategis pada
Ternak Ruminansia Besar. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner.
Jahja, J. L, Lestariningsih. N, Fitria. T, Suryani. 2006. Penyakit- Penyakit
Penting pada Ayam. Medion, Bandung
Jamilah, N.
Suthama dan L.D. Mahfudz. 2013. Performa produksi dan ketahanan tubuh broiler
yang diberi pakan step dow dengan
penambahan asam sitrat sebagai acidifier.
JITV.18 (4) :
251-257.
Julendra, H., Zuprizal
dan Supadmo. 2010. Penggunaan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai adiktif pakan terhadap penampilan
produksi ayam pedaging, profil darah, dan kecernaan protein. Buletin Peternakan
34 (1) : 21-29.
Johnson, G. 2010. Management of lice on
livesstock. Montana State University. MSU Extention.
Marquard U. L. F, and
Petersen. 1997. Endoparasite of Arctic Wolves in Greenland. Artic50(4) :349-354
Munadi.
2011.Tingkat infeksi
cacing hati
kaitannya dengan kerugian ekonomi Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong
Hewan Wilayah Eks-Kresidenan Banyumas.Agripet. 1(11):
Natadisastra
dan R. Agus. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau
dari Organ Tubuh yang Diserang. ECG, Jakarta.
Natalia,
L. dan A. Prihadi. 2005. Penggunaan Probiotik untuk Pengendalian clostridial
necrotic enteritis pada ayam pedaging. JITV. 1(1) : 71-78.
Noach, F. P. 2013. Fuzzy expert system analisa tingkat keparahan penyakit scabies pada kambing. Fakultas Teknik. Universitas
Politeknik Negeri Kupang. Kupang.
Kasmar, I. R. 2015. Prevalensi scabies pada
kambing di Kecamatan Bontotirto Kabupaten
Bulukumba. Fakultas Kedokteran. Universitas Hassanuddin.
Makassar. (Skripsi).
Poernomo, J. S. 2004. Variasi tipe antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di
Indonesia dan penyebab serotipe Salmonella
pada ternak.Wartazoa.14 (4): 143 – 159.
Putra. R. E., A. Rosyad, dan I. Kinasih.
2013. Pertumbuhan dan perkembangan larva
Musca domestica Linnaeus (Diptera: Muscidae) dalam beberapa jenis kotoran ternak Growth and development of Musca domestica Linnaeus (Diptera:
Muscidae) larvae in different livestock
manures. Fakultas Sains dan Teknologi. Jurusan Biologi. Universitas Institut Teknologi Bandung. Bandung. Vol. 10 (1):31-38. ISSN: 1829-7722.
Rasyaf,
M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Rianto, E. dan E. Purbowati. 2011. Panduan Lengkap Sapi
Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sonjaya, H. 2010. Bahan Ajar Fisiologi Ternak Dasar.
Fakultas Peternakan,-Universitas Hasanuddin, Makassar.
Santosa, U. 2010. Mengelola Peternakan
Sapi secara Profesional. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suprijatna, E. Atmomarsono, U. dan Kartasudjana, R. 2008.
Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Susilorini, T. E., E. S. Manik dan
Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tabbu, C.
R. 2000. PenyakitAyamdanPenanggulagannya.PenerbitKanisius,
Yogyakarta.
Widiyono I., H.
Wuryastuti, S. Indarjulianto, dan H. Purnamaningsih. 2003. Frekuensi nafas, pulsus, dan gerak rumen serta suhu tubuh pada kambing Peranakan
Ettawa selama
3 bulan pertama kehidupan pasca lahir. J. Sains Vet. XXI (2): 39 - 42
Wijiastuti, T., E. Yuwono dan N.
Iriyanti. 2013. Pengaruh pemberian minyak ikan lemuru terhadap total protein
plasma dan kadar hemoglobin (Hb) pada ayam kampung. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1) : 228-235.
Yuwanta,
T. 2008. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Zaida., Handarto., dan Natari G G. 2008. Analisis
Pengubahan Iklim Mikro di dalam Kandang domba Garut dengan metode Pengendalian
Pasif. Jurnal
Unpad 2 ( 3 ): 1 – 7.
0 komentar:
Posting Komentar