
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM
PRODUKSI TERNAK
PERAH
Disusun
oleh :
Brilian Nova J. 23010113140125
PROGRAM STUDI
S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS
PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Sapi Peranakan Friesian
Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal,
dengan ciri-ciri yang hampir menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih
rendah dari FH dan badannya juga lebih kecil. Sapi PFH yang dipelihara di Indonesia memiliki
produktivitas yang lebih rendah, hal ini dikarenakan Indonesia termasuk daerah
tropis yang memiliki temperatur suhu yang cukup tinggi. Fisiologi lingkungan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologi ternak baik
meliputi lingkungan kandang, perkadangan maupun daerah tertentu, faktor
fisioligi lingkungan antara lain suhu udara, kelembapan udara dan radiasi
matahari. Kondisi fisiologi ternak
tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu dan performans sapi
perah. Kegiatan pencatatan atau
rekording pada usaha peternakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang
lengkap tentang ternak sapi yang dipelihara demi perkembangan usaha peternakan.
Tujuan dari praktikum
produksi ternak perah adalah mengetahui faktor dari fisiologi lingkungan yang
mempengaruhi kondisi fisiologi ternak terhadap produktivitas ternak dan
performans ternak, mengetahui bagian-bagian ambing dan mekanisme keluarnya air
susu serta mengetahui kualitas susu berdasarkan berat jenis susu, kemudian
dapat mengevaluasi sistem recording
di kandang Dairy Production. Manfaat dari praktikum ini adalah mampu menerapkan
ilmu yang diperoleh untuk perkembangan kondisi usaha peternakan sapi perah.

TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) sangat menonjol
karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas
perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang
tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu. Sapi FH memiliki warna cukup terkenal, yaitu
belang hitam putih dengan pembatas yang jelas dan tidak ada warna bayangan
serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga bangsa sapi ini dapat
dijumpai hampir di seluruh dunia (Rustamadji, 2004). Bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di
Indonesia adalah jenis bangsa sapi perah PFH. Sapi PFH merupakan hasil
persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri-ciri yang hampir
menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya
juga lebih kecil (Siregar, 2001). Sapi perah adalah sapi yang dapat memproduksi
susu lebih dari kebutuhan anaknya. Kemampuan produksi susu sapi FH dan peranakan
adalah 1800-2000 kg/laktasi. Sapi yang
sering melahirkan, maka produksi susunya semakin meningkat sampai batas
maksimum tertinggi pada periode laktasi saat melahirkan yang ke 4 - 5 kali,
sesudah itu produksi akan cenderung menurun (Malaka, 2010).
2.2. Fisiologi Lingkungan Sapi Perah
Fisiologi lingkungan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kondisi ternak baik meliputi lingkungan kandang,
perkadangan maupun daerah tertentu, faktor yang mempengaruhi fisioligi
lingkungan adalah suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi matahari. Faktor iklim utama yang berpengaruh terhadap produksi
antara lain suhu udara, kelembapan dan radiasi matahari. Komponen lingkungan abiotik utama yang
pengaruhnya nyata terhadap ternak antara lain temperatur, kelembaban, curah hujan,
angin dan radiasi matahari (Sientje, 2003). Terdapat empat unsur yang mempengaruhi
produktivitas ternak yaitu terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari,
dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yang juga berpengaruh yaitu
curah hujan dan evaporasi yang mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak
langsung (Yani dan Purwanto, 2006).
2.2.1. Suhu Lingkungan
Suhu lingkungan sapi perah adalah faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas
ternak sapi perah suhu lingkungan di bagi menjadi dua yaitu suhu makro dan suhu
mikro. Suhu udara yang sesuai untuk pemeliharaan
sapi perah di daerah tropis berkisar antara 18-21oC dan di Indonesia lingkungan tersebut terdapat di wilayah dengan ketinggian
serendah-rendahnya yaitu 500 mdpl (Utomo et al., 2009). Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah. Peningkatan performams sapi perah agar sesuai dengan
kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen suhu lingkungan
yang tepat, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman panas
pada tubuh ternak (Nardone et al.,
2010).
2.2.2. Kelembaban
Kelembaban adalah faktor iklim
yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah, hal ini di karenakan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air,
keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Ternak sapi di daerah tropis, tingkat kenyamanan
ternak secara umum berada pada kisaran suhu 22 - 30oC dan kelembaban
sebesar 40 - 80% (Arifin et al., 2013).
Semakin tinggi kelembapan, maka tingkat penguapan
semakin rendah, sehingga mengakibatkan sapi mengalami cekaman panas. Tingginya kelembaban dapat mempengaruhi produktivitas
sapi dan dapat menyebabkan perubahan tingkah laku seperti penurunan konsumsi pakan
(Yasothai, 2014).
2.2.3. Radiasi Matahari
Radiasi adalah proses pemindahan panas dari suatu benda-kebenda lain.
Radiasi matahari berkaitan erat dengan suhu lingkungan. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap aktivitas
organ – organ dan kegiatan ternak. Radiasi
matahari secara langsung dapat mengakibatkan sapi PFH tidak nyaman sehingga
menimbulkan efek negatif terutama pada siang hari (Haryadi, 2008). Rata-rata radiasi matahari 399,59 kcal/m2/jam
tinggi rendahnya radiasi dipengaruhi oleh letak geografis dan iklim, ketinggian
tempat, (Yani dan Purwanto, 2006).
2.2.4. Perkandangan Sapi Perah
Perkandangan
merupakan kompleks tempat tinggal ternak bersamaaan dengan pengelolaan atau peralatan
yang mendukung proses kehidupan ternak sedangkan kandang merupakan tempat tinggal
ternak untuk melakukan berbagai aktifitas didalamnya termasuk produksi dan reproduksi
(Siregar, 2007). Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan
agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak. Kebersihan kandang juga merupakan aspek
penting karena dapat mempengaruhi kondisi ternak itu sendiri (Soeharsono,
2010).
2.3. Fisiologi Ternak Sapi Perah
Kondisi fisiologis ternak dapat ditinjau melalui suhu rektal, laju
respirasi, dan frekuensi denyut nadi (Palulungan et al., 2013). Kondisi
fisiologis ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi kondisi suhu dan
kelembaban lingkungan, aktivitas, umur, konsumsi pakan, kebuntingan, cekaman
dan tingkat stress (Mauladi, 2009).
2.3.1. Suhu tubuh
Suhu
tubuh normal pada sapi PFH berkisar antara 38,2 - 39,1oC (Schutz
et al., 2009). Kondisi suhu yang nyaman akan membuat ternak
terhindar dari cekaman, sehingga produktivitas ternak sapi akan semakin
meningkat (Yani dan Purwanto, 2006). Suhu tubuh sapi yang
bervariasi dipengaruhi oleh umur, waktu pengukuran, kondisi lingkungan,
aktivitas fisik dan fungsi reproduksi pada sapi (Rosenberger, 1979 ; Mauladi,
2009). Peningkatan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kondisi lingkungan,
dimana suhu lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan suhu
tubuh ternak (Nainggolan, 2013).
2.3.2. Denyut nadi
Frekuesi denyut nadi sapi perah
yang normal berkisar antara 46 - 84 kali/menit, dimana pada kisaran tersebut
ternak dalam keadaan yang baik, nyaman serta tidak mengalami cekaman dan stress
(Sudrajad dan Adiarto, 2011). Frekuensi jantung dipengaruhi oleh aktivitas fisik tubuh, latihan
dan kondisi lingkungan yang seperti suhu lingkungan dan kelembaban udara (Mauladi, 2009).
Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak
untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.3. Frekuensi nafas
Kisaran normal
frekuensi pernafasan pada sapi berkisar antara 23 - 32 kali/menit (Sudrajad dan
Adiarto, 2011). Frekuensi nafas
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh, umur ternak dan aktifitas
fisik, kegelisahan, kebuntingan dan kondisi kesehatan ternak (Nainggolan, 2013).
Semakin tua umur ternak maka frekuensi
nafas semakin rendah, selain itu aktivitas fisik yang tinggi juga akan
menyebabkan peningkatan frekuensi nafas pada ternak (Mauladi, 2009).
2.3.4. Konsumsi air minum
Sapi perah membutuhkan sekitar 37 – 45 liter air
minum setiap harinya untuk aktifitas dan produksi (Syarif dan
Harianto, 2011). Status fisiolgis ternak
akan mempengaruhi kebutuhan air minum, sapi perah dalam masa laktasi
membutuhkan air minum yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi dara, diperlukan
air minum sekitar 3,6 - 4 liter untuk menghasilkan 1 liter susu (Saleh, 2004). Suhu tubuh berpengaruh terhadap konsumsi air
minum, semakin tinggi suhu tubuh ternak maka konsumsi air minum cenderung
semakin meningkat untuk mengurangi panas dalam tubuhnya (Yani dan Purwanto,
2006). Air mempunyai peran yang penting
dalam pemeliharaan ternak, diantaranya sebagai transportasi zat makanan,
membantu proses pencernaan, penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme,
pengatur suhu tubuh serta membantu kerja syaraf panca indra (Putra, 2009). Penurunan
atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah
makanan, produktivitas dan suhu tubuh (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.5. Frekuensi urinasi
Frekuensi urinasi sapi perah dalam 24 jam dapat
mengeluarkan urine sebanyak 3 - 19 kali (Robichaud et al., 2011). Suhu
tubuh dan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi air minum,
semakin banyak air yang diminum maka semakin meningkat pula frekuensi urinasi
ternak (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.6. Frekuensi defekasi
Selama
24 jam sapi perah dalam masa laktasi dapat mengeluarkan
feses hingga 25 kali (Wahyuni, 2010). Pemberian pakan akan mempengaruhi jumlah
feses yang dikeluarkan. Pakan kasar akan mengurangi jumlah feses yang
dikeluarkan oleh ternak (Santosa, 2004). Frekuensi defekasi akan meningkat
diwaktu jam-jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al.,
2014).
2.4. Anatomi Biologis Ambing
Pertumbuhan dan
pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu
melahirkan pertama, pada spesies ternak peliharaan estrogen dan hormone
pertumbuhan dan kartisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesterone dan prolaktin atau senyawa seperti
prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveolus.
Proses perkembangan ambing dimulai dari
fase prenatal, fase natal, fase post pubertas, fase kebuntingan dan melahirkan. Proses sintesis komponen susu terjadi di sel
alveoli kelenjar ambing (Jarmuji,
2011). Ambing
merupakan kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu dilengkapi suatu saluran ke
bagian luar (puting) yang tidak tertutup bulu. Ambing merupakan alat penghasil susu. Bentuk ambing yang besar serta panjang
mempunyai produksi susu yang lebih tinggi (Frandson, 1992).
2.4.2. Anatomi dan
Fisiologi Ambing
Ambing
pada sapi terdiri dari 4 puting dan 4 kuartir yang terpisah. Setiap kuartir
terdiri dari jaringan ikat, lemak serta jaringan penghasil susu atau alveoli (Sarwono, 2008). Umumnya kuartir depan lebih kecil dibandingkan
dengan kuartir belakang, masing-masing kuartir mandiri atau tidak terpengaruh
dengan kuartir lainya, ligamentum
suspensorium medialis mempunyai fungsi sebagai pemisah antara kuartir kanan
dan kuartir kiri, ligamentum suspensorium
lateralis adalah bagian yang meyelubungi ambing dari luar dan pemisah
antara kuartir depan dan belakang (Mukhtar, 2006). Bagian ambing yang kecil dan berwarna
kemerahan merupakan sel-sel sekretorik yang dibungkus oleh alveoli yang bergabung menjadi satu dibungkus oleh jaringan ikat
yang disebut lobulus, sejumlah lobuli membentuk lobus (Damayanti, 2006). Anal fold memiliki fungsi sebagai penahan susu didalam ambing. Gland cistern merupakan
titik pengumpulan saluran dari semua saluran yang ada di dalam ambing dan
sebagai tempat penampung atau reservoir susu
yang telah disintesis pada selang waktu pemerahan sebelum ke teat cistern. Ductus memiliki fungsi sebagai penyalur susu ke sisterna. Ambing juga memiliki saluran berongga yang
menuju ke streak canal disebut teat cistern.Teat cistern adalah rongga yang ada di dalam
puting, berada dibawah jaringan sisterna kelenjar dan dibatasi oleh
lipatan-lipatan longitudinal dan sirkuler yang saling membentuk overlap
sehingga membentuk kantong yang berpotensi sebagai tempat bersarangnya bakteri
(Mukhtar, 2006). Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian dalam puting yang paling
bawah supaya bakteri tidak dapat masuk. Teat meatus berfungsi sebagai lubang
akhir tempat keluarnya susu dari puting (Damayanti, 2006).
2.4.3. Pembentukan
Susu dan Biosintesis Susu
Proses sintesis komponen susu
terjadi di sel alveoli kelenjar ambing,
rangsangan yang ditimbulkan dari proses menyusu menghasilkan impuls yang
melewati sumsum tulang ke hipotalamus, ini menyebabkan dikeluarkannya oksitosin
dari kelenjar pituitari posterior atau neuro hipofisis dan terjadinya refleks
pancaran air susu (Tomaszewska et al.,1991).
Sintesis susu dilakukan oleh sel-sel
sekretori pada kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang
dikonsumsi ternak (Jarmuji, 2011). Sel
alveoli banyak ditemukan pada dinding
alveoli, di dalam ambing terdapat 500.000 alveoli
dan untuk membentuk setetes susu memerlukan puluhan ribu alveoli (Sunarko et al., 2009).
2.4.4. Pengeluaran Susu
Hormon oxytocin dapat merangsang
keluarnya air susu (milk let down)
(Sulistyowati dan Erwanto, 2009). Otot
di sekitar alveoli berkontraksi
karena adanya hormon oksitosin, kemudian air susu di dalam alveoli akan terperas keluar dan mengalir ke saluran-saluran susu
dan secara bertahap akan makin besar ukurannya ke saluran primer, saluran
primer mengalirkan susu ke dalam gland
cistern (Hanafi, 2007).
2.5. Susu Sapi
Perah
Susu sapi perah merupakan salah satu bahan pangan sumber
protein hewani memiliki nilai gizi tinggi dan mempunyai komposisi zat gizi
lengkap yang penting dalam mencukupi kebutuhan gizi.Susu murni adalah cairan
yang berasal dari ambing sapi sehat yang diperoleh dari cara pemerahan yang
benar tanpa adanya pengurangan dan penambahan sesuatu komponen atau bahan lain
(Nurhadi, 2010). Susu segar adalah
cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan
cara yang benar dimana kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu
apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa
mempengaruhi kemurniannya (Salundik et
al., 2008). Kualitas fisik dan kimia
susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan, sistem
pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan
periode laktasi (Utami et al., 2013).
2.5.1. Syarat Susu Sapi Perah
Syarat susu yang baik meliputi berat
jenis, kadar lemak, kadar BKTL, kadar protein, warna, bau, rasa, kekentalan,
derajat asam, pH, uji alkohol, titik beku, dan uji mikrobiologi. Pemeriksaan
mikrobiologi yang dilakukan terhadap susu antara lain Total Plate Count (TPC), Most
Probable Number (MPN) Coliform, E. coli, S. aureus dan Salmonella(Suwito
dan Andriani, 2012).Persyaratan
mutu susu segar antara lain mempunyai berat jenis minimum 0,0270 g/ml; kadar
lemak minimum 3%; kadar BKTL minimum 7,8%; kadar protein minimum 2,8%; warna,
bau, rasa, dan kekentalan tidak berubah; derajat asam 6,0-7,5°SH; pH 6,3-6,8; uji alkohol (70%) dengan hasil negatif, cemaran mikroba
yang meliputi Total Plate Count 1x106
CFU/ml, Staphylococcus aureus 1x102
CFU/ml, Enterobacteriaceae 1x103 CFU/ml dan titik beku antara
-0,520 – 0,560°C (SNI 01-3141-2011).
2.5.2. Komponen Susu
Susu merupakan bahan makanan yang
berasal dari ternak yang bernilai gizi tinggi. Susu sapi berasal dari sapi
perah yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Komposisi rata-rata air susu sapi mengandung 3,3% protein; 3,8% lemak; 4,7% karbohidrat; 87,6% air; 0,7% vitamin dan
mineral (Umar et al., 2014). Komponen
air susu antara lain terdiri dari protein sebesar 2,7%, lemak 3%, bahan kering
11% dan Bahan Kering Tanpa Lemak(BKTL) minimum sebesar 7,8% (SNI 01-3141-2011). Kualitas fisik dan kimia
susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan, sistem
pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan
periode laktasi (Utamiet al., 2013).
2.5.3. Berat Jenis
Susu
Berat jenis susu adalah
angka perbandingan antara berat dan volume susu (Mardalena, 2008). Berat jenis
susu berdasarkan SNI 01-3141-2011 yaitu 1,0270 g/ml (Salundik et
al., 2008). Faktor yang mempengaruhi berat jenis susu adalah proses
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, bahan kering, dan kadar lemak susu. Berat
jenis susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu dimana semakin tinggi
kadar lemak susu maka semakin rendah berat jenisnya.Berat jenis susu dipengaruhi oleh
kandungan yang terlarut didalam susu dimana semakin banyak senyawa yang
terdapat dalam susu maka berat jenis susu akan meningkat (Utami et al., 2013).
2.6. Recording
Recording
ternak merupakan proses pencatatan semua kegiatan dan kejadian yang dilakukan
pada suatu usaha peternakan. Variabel yang
dicatat dalam kegiatan recording
ternak meliputi identitas sapi, performans produksi (khusus pada sapi perah
ditambah dengan data produksi susu), performans reproduksi serta kondisi
kesehatan ternak. Recording yang baik dapat memberikan informasi tentang keadaan dan
kondisi ternak secara individu maupun secara keseluruhan dalam kelompok ternak
(Hakim et al., 2010). Data identitas ternak dalam pencatatan
meliputi nama atau nomor sapi, umur sapi dan tanggal beranak, hal ini
diperlukan untuk menghitung selang beranak, tanggal inseminasi atau kawin yang
menghasilkan kebuntingan, sehingga catatan ini dapat digunakan untuk menghitung
masa kosong dan jumlah kawin sampai ternak itu bunting (Hilmia, 2007). Kegiatan pencatatan atau recording pada usaha peternakan bertujuan untuk menyediakan
informasi yang lengkap tentang ternak sapi yang dipelihara. Informasi yang
diperoleh dari data recording akan
digunakan dalam rangka pengambilan keputusan sehari-hari, misalnya menentukan
secara tepat kapan mengawinkan, mengeringkan atau mengafkir seekor sapi serta
bagaimana memberi pengobatan atau penanganan bagi seekor ternak yang sakit,
serta untuk evaluasi terhadap manejemen yang sedang dijalankan dan untuk
perencanaan jangka panjang. Rendahnya
tingkat produktivitas ternak sapi perah di Indonesia dapat disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan atau keterampilan peternak yang mencakup aspek penerapan
sistem pencatatan, reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, pemerahan,
sanitasi dan pencegahan penyakit (Azizah et
al., 2013).
BAB III

Praktikum Produksi Ternak Perah dengan
materi
Anatomi Biologis Ambing dan Pengukuran Berat Jenis Susu dilaksanakan
pada hari
Senin tanggal 11 Mei 2015 pukul 13.00 – 15.00 WIB
di Laboratorium
Produksi Ternak Potong dan Perah Divisi Ternak Perah. Praktikum dengan materi
Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording
dilaksanakan hari Jumat dan Sabtu tanggal 22 – 23 Mei 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB
di Kandang Dairy Production Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1. Materi
Materi yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah
antara lain yaitu awetan organ ambing sapi perah, susu murni dan susu UHT 500
ml serta satu ekor sapi Peranakan
Friesian Holstein. Peralatan yang digunakan
antara lain tabung ukur untuk tempat
susu saat uji berat jenis, laktodensimeter untuk mengukur berat jenis susu,
termometer untuk mengukur suhu lingkungan di dalam dan luar kandang, black globe termometer untuk mengukur
radiasi matahari, hygrometer untuk
mengukur kelembapan di dalam dan di luar kandang, termometer klinis untuk
mengukur suhu rektal sapi, stetoskop untuk menghitung frekuensi denyut nadi
sapi, stopwatch untuk menghitung
waktu, alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.
3.2. Metode
3.2.1. Fisiologi lingkungan
Fisiologi lingkungan diamati dengan cara menghitung suhu
lingkungan, kelembapan, radiasi matahari dan perkandangan sapi perah.
3.2.1.1.Suhu lingkungan, pengukuran suhu dilakukan
dengan cara menempatkan termometer pada luar kandang dan di dalam kandang lalu
mengamati suhu lingkungan pada termometer. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali
pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.
3.2.1.2.Kelembapan, pengukuran kelembapan dilakukan dengan menempatkan
hygrometer di luar kandang dan di dalam kandang lalu mengamati besar kelembapan
yang ada pada hygrometer. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali pada pukul
06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.
3.2.1.3.Radiasi matahari, pengukuran radiasi matahari
dilakukan dengan menempatkan black globe
temperature pada lingkungan luar kandang yang terkena sinar matahari
langsung. Mengamati suhu yang ada pada black globe temperature sebanyak 5 kali
pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB lalu menghitung radiasi matahari
dengan menggunakan rumus :
R = δ.T4
Keterangan :
R = Radiasi Matahari
(kCal/m2/jam)
δ = Konstanta Stefann
Boltzman (4,903 x 10-8)
T = Suhu mutlak dalam
Kelvin (273 + °C)
3.2.1.4. Perkandangan sapi perah, pengukuran kandang sapi perah
dengan cara mengukur panjang dan lebar kandang, tinggi atap, panjang, lebar,
kedalaman dan tinggi palung, panjang, lebar dan kedalaman selokan, lebar, panjang
dan tinggi flock serta kamar susu.
3.2.2. Fisiologi Ternak
Fisiologi ternak dapat
diketahui dengan cara mengukur suhu rektal, denyut nadi, frekuensi pernafasan,
konsumsi air minum, frekuensi urinasi, frekuensi defekasi.
3.2.2.1. Suhu rektal, pengukuran suhu rektal
dilakukan dengan cara memasukkan termometer rektal ke dalam rektal sapi
kemudian tunggu hingga termometer berbunyi lalu catat suhu rektal yang ada pada
termometer rektal, pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali pada pukul 06.00,
12.00, 18.00 dan 24.00 WIB dilakukan dua kali setiap pengukuran.
3.2.2.2. Denyut nadi, pengukuran denyut nadi
dilakukan dengan menggunakan stetoskop yang diarahkan di bagian depan kaki kiri
sapi, hitung banyaknya denyut nasi selama satu menit dan dilakukan sebanyak dua
kali. Pengukuran dilakukan seanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan
24.00 WIB.
3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, pengukuran frekuensi nafas
dilakukan dengan cara mendekatkan telapak tangan ke hidung sapi lalu hitung
banyaknya hembusan nafas sapi selama satu menit dan dilakukan sebanyak dua
kali. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.
3.2.2.4. Konsumsi air minum, pengukuran konsumsi air minum
dihitung dengan cara mengamati tempat minum sapi yang harus selalu diisi ketika
kosong dan mencatat waktu pada saat penambahan air minum pada wadah. Pengukuran
dilakukan selama 24 jam.
3.2.2.5. Frekuensi urinasi, pengukuran frekuensi urinasi
dilakukan dengan cara mengamati sapi pada saat urinasi dan mencatat waktu pada
saat sapi urinasi. Pengukran dilakukan selama 24 jam.
3.2.2.6. Frekuensi defekasi, Pengukuran frekuensi defekasi
dilakukan dengan mencatat waktu pada saat sapi melalukan defekasi. Pengukuran
dilakukan selama 24 jam.
3.2.3. Anatomi Biologis Ambing
Pengamatan anatomi
biologis ambing dilakukan dengan cara mengamati awetan organ ambing sapi perah
pada bagian eksterior dan interior ambing. Mendiskusikan tentang organ eksterior dan
interior serta fungsi dan peranan dari ambing.
3.2.4. Pengukuran Berat
Jenis Susu
Pengamatan berat jenis
susu dilakukan dengan menempatkan susu murni dan susu UHT pada tabung ukur lalu
celupkan laktodensimeter kedalam cairan air susu, kemudian amati berat jenis
terukur pada laktodensimeter. Menghitung
berat jenis susu dengan rumus :
Berat Jenis = Berat
Jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
Keterangan :
T = Suhu terukur (ºC)
BAB IV

4.1. Fisiologi
Lingkungan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban dan Radiasi Matahari
No
|
Jam
|
Suhu (°C)
|
Kelembapan (%)
|
Radiasi Matahari
(Kcal/m2/jam)
|
||
Dalam
|
Luar
|
Dalam
|
Luar
|
|||
1.
|
18.00
|
28
|
25
|
66
|
83
|
391,87
|
2.
|
00.00
|
37,9
|
38
|
37,95
|
92
|
376,6
|
3.
|
06.00
|
26
|
24
|
37
|
91
|
376,6
|
4.
|
12.00
|
33,5
|
47
|
38
|
71
|
436,6
|
5.
|
18.00
|
30
|
27
|
58
|
68
|
397
|
Rerata
|
28,7
|
29,2
|
60,8
|
63,2
|
395,69
|
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.1.1. Suhu Lingkungan
Berdasarkan hasil pengamatan,
diketahui bahwa rata-rata suhu dalam dan suhu luar adalah 28,7°C dan 29°C. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu lingkungan tergolong
tinngi untuk pemiliharaan sapi di daerah tropis, karena suhu ideal bagi sapi perah
di daerah tropis berkisar antara 20°C -
26°C. Hal ini sesuai dengan pendapat
Purwanto (2004) yang menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat menghasilkan
produksi secara maksimal apabila berada dalam comfort zone yaitu berkisar antara 20°C - 26°C. Yani
et al. (2007) menambahkan bahwa suhu udara dalam kandang memiliki kecenderungan
meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap. Ketidaknyamanan ternak PFH karena suhu mempengaruhi
performans dan peternak harus melakukan inovasi manajemen lingkungan supaya ternak
sapi PFH tidak terus mendapatkan cekaman lingkungan.
4.1.2. Kelembaban
Berdasarkan hasil pengamatan
diperoleh hasil bahwa kelembaban dalam kandang maupun luar kandang adalah sebesar
60,8% dan 63,2% baik kelembaban dalam maupun luar tidak menunujukkan perbedaan
yang signifikan. Kelembaban ini masih dalam
batas yang normal di mana kelembaban rata-rata daerah tropis berada di kisaran 40
- 80%. Hal ini sesuai dengan pendapat Arifinet al. (2013) menyatakan bahwa ternak sapi
di daerah tropis, tingkat kenyamanan ternak secara umum berada pada kisaran suhu
antara 22 - 30oC dengan kelembaban sebesar 40 - 80%. Semakin tinggi kelembaban dapat mempengaruhi pruduktivitas
ternak, karena semakin tinggi kelembaban akan merubah pola tingkah laku pakan ternganggu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Yasothai
(2014) yang menyatakan bahwa tingginya kelembaban dapat mempengaruhi produktivitas
sapi dan dapat menyebabkan perubahan tingkah laku seperti penurunan konsumsi pakan.
4.1.3. Radiasi Matahari
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa rata-rata radiasi matahri
adalah sebesar 395,69 kkal/m2/jam. Radiasi matahari terendah ada
pada jam 00.00 dan 06.00 pagi yaitu sebesar 376,6 Kcal/m2/jam dan
radiasi matahari tertinggi pada jam 12.00 siang yaitu sebesar 436,6 Kcal/m2/jam.
Pada kondisi tersebut sapi PFH sudah mengalami
cekaman panas, sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu tubuhnya, ternak tersebut
mencari naungan. Hal ini di dukung oleh Haryadi
(2008) yang menyatakan bahwa radiasi matahari secara langsung dapat
mengakibatkan sapi PFH tidak nyaman sehingga menimbulkan efek negatif terutama
pada siang hari. Dari hasil rata-rata
yang menunjukkan bahwa hasil sebesar 395,69 kkal/m2/jam dapat di
kategorikan normal, tinggi rendahnya radiasi matahari di pengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu letak geografis, kecepatan angin dan keadaan iklim. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto
(2006) yang menyatakan bahwa rata-rata radiasi matahari 399,59 kcal/m2/jam,
tinggi rendahnya radiasi dipengaruhi oleh letak geografis, iklim, dan ketinggian
tempat.
4.1.4. Perkandangan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh
data sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil
Pengukuran Kandang
Parameter
|
Ukuran
|
Panjang Kandang (m)
|
14,7
|
Lebar Kandang (m)
|
10,21
|
Tinggi Kandang (m)
|
3,4
|
Panjang palung (m)
|
9,18
|
Lebar palung (cm)
|
5,45
|
Kedalaman palung (cm)
|
50
|
Tinggi palung (cm)
|
80
|
Panjang selokan (m)
|
9,75
|
Lebar selokan (cm)
|
25
|
Kedalaman selokan (cm)
|
6,5
|
Lebar flock (cm)
|
160
|
Panjang flock
(cm)
|
195
|
Tinggi flock
(cm)
|
129
|
Kamar susu (m2)
|
10,66
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan
pengamatan kandang sapi perah milik Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro memiliki sistem kandang konvensional dan dalam
penempatan ternak dilakukan secaara Tail
to Tail, banyak aspek yang di amati dalam perkandangan ini di maksudkan
agar ternak merasa nyaman selama tinggal di dalam kandang karena kandang
merupakan tempat ternak melakukan berbagai aktivitas dan tempat perlindungan
bagi ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Siregar (2007) yang menyatakan bahwa kandang merupakan tempat
tinggal ternak untuk melakukan berbagai aktifitas, didalamnya termasuk produksi
dan reproduksi. Bentuk dan desain
kandang juga harus di sesuaikan dengan kondisi agroklimat dan fisioligis ternak
itu sendiri. Hal ini sesuai dengan
pendapat Soeharsono (2010) yang menyatakan bahwa tipe kandang hendaknya
disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan
dan kondisi fisiologis ternak. Kebersihan
kandang juga merupakan aspek penting karena dapat mempengaruhi kondisi ternak
itu sendiri.
Ilustrasi 1. Kandang Tampak
Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)
![]() |
![]() |
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.2. Fisiologi Ternak
Praktikum
Produksi Ternak Perah dengan materi fisiologi ternak didapatkan hasil suhu
tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut
Nadi dan Frekuensi Nafas
No.
|
Jam
|
Suhu Tubuh
|
Denyut Nadi
|
Frekuensi Nafas
|
-----°C-----
|
----------kali/menit----------
|
|||
1.
|
18.00
|
38,55
|
35
|
24
|
2.
|
24.00
|
37,95
|
38,5
|
23
|
3.
|
06.00
|
38,00
|
57
|
25,5
|
4.
|
12.00
|
38,50
|
77
|
51
|
5.
|
18.00
|
38,75
|
35
|
30,5
|
Rerata
|
38,35
|
48
|
31
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Produksi Ternak Perah, 2015.
Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal, denyut nadi
dan frekuensi pernafasan. Menurut
Palulungan et al. (2013), kondisi
fisiologis ternak dapat diketahui melalui suhu rektal, laju respirasi, dan
frekuensi denyut nadi. Kondisi fisiologis ternak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, umur, konsumsi pakan, aktivitas ternak dan tingkat stres. Hal ini sesuai dengan pendapat Mauladi (2009) yang menyatakan bahwa kondisi
fisiologis ternak dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembapan lingkungan, aktivitas,
umur, konsumsi pakan, kebuntingan, cekaman dan tingkat stres.
4.2.1. Suhu tubuh
Suhu tubuh sapi yang diukur dalam
praktikum berkisar antara 37 - 39oC
dengan rata – rata 38,35°C. Suhu
tubuh tersebut dikatakan baik, karena sesuai dengan kisaran suhu tubuh normal, sehingga
sapi dalam keadaan yang nyaman dan tidak terkena cekaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Schutz et al. (2009) yang menyatakan bahwa suhu
tubuh normal pada Sapi PFH berkisar antara 38,2 - 39,1oC. Menurut
Yani dan Purwanto (2006), kondisi suhu yang nyaman akan membuat ternak
terhindar dari cekaman, sehingga produktivitas ternak akan semakin meningkat.
Suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, aktivitas,
kondisi lingkungan dan kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosenberger (1979) yang disitasi Mauladi (2009) bahwa suhu tubuh sapi yang bervariasi dipengaruhi
oleh umur, waktu pengukuran, kondisi lingkungan, aktivitas fisik dan fungsi
reproduksi pada sapi. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap suhu tubuh
ternak, dimana saat suhu lingkungan meningkat maka suhu tubuh ternak akan
mengalami peningkatan pula. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nainggolan (2013) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu
tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kondisi lingkungan, dimana suhu lingkungan yang
meningkat pada siang hari dapat meningkatkan suhu tubuh ternak.
4.2.2. Denyut nadi
Denyut nadi sapi yang diukur
dalam praktikum berkisar antara 31 – 78 kali/menit dengan rata – rata 48
kali/menit. Hasil tersebut dikatakan baik karena sesuai dengan kisaran denyut
nadi normal, sehingga sapi tersebut berada dalam kondisi yang nyaman. Hal ini sesuai pendapat Sudrajad dan Adiarto
(2011) yang menyatakan bahwa frekuesi denyut nadi sapi perah yang normal
berkisar antara 46 - 84 kali/menit, dimana pada kisaran tersebut ternak dalam
keadaan yang baik, nyaman serta tidak mengalami cekaman dan stress. Frekuensi
denyut nadi dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain umur, pakan yang diberikan, aktivitas, suhu
dan kelembapan, lingkungan serta kondisi kesehatan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Mauladi (2009)
yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya frekuensi jantung
dipengaruhi oleh aktivitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan seperti
suhu lingkungan dan kelembapan udara. Menurut Yani dan
Purwanto (2006), peningkatan denyut jantung merupakan
respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam
organ-organ yang lebih dingin.
4.2.3. Frekuensi nafas
Frekuensi
nafas yang dikur dalam praktikum berkisar antara 23 - 53 kali/menit dengan rata
rata 31 kali per menit. Hasil tersebut
dikatakan baik karena sesuai dengan kisaran denyut nadi normal, sehingga sapi
tersebut berada dalam kondisi yang nyaman.
Hal ini sesuai pendapat Sudrajad dan Adiarto (2011) yang menyatakan
bahwa kisaran normal frekuensi pernafasan
pada sapi berkisar antara 23 - 32 kali/menit.
Frekuensi nafas dipengaruhi oleh aktivitas ternak, umur, kondisi
lingkungan, ukuran tubuh dan kebuntingan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Nainggolan (2013) yang menyatakan bahwa
selain suhu lingkungan, ukuran tubuh, umur ternak dan aktifitas fisik, tinggi
rendahnya frekuensi nafas juga dipengaruhi oleh kegelisahan, kebuntingan dan
kondisi kesehatan ternak. Menurut
Mauladi (2009), semakin tua umur ternak maka frekuensi nafas semakin rendah,
selain itu aktivitas fisik yang tinggi juga akan menyebabkan peningkatan
frekuensi nafas pada ternak.
4.2.4. Konsumsi air minum
Pengamatan komsumsi air
minum selama 24 jam didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4. Hasil
Pengukuran Konsumsi Air Minum
Pengisian ke-
|
Volume (L)
|
Jam Pengisian
|
1
|
1,3
|
18.30
|
2
|
1,3
|
22.35
|
3
|
1,3
|
04.35
|
4
|
1,3
|
06.39
|
5
|
1,3
|
06.40
|
6
|
1,3
|
06.42
|
7
|
1,3
|
06.43
|
8
|
1,3
|
06.45
|
9
|
1,3
|
06.48
|
10
|
1,3
|
06.50
|
11
|
1,3
|
06.55
|
12
|
1,3
|
06.55
|
13
|
1,3
|
07.18
|
14
|
1,3
|
07.20
|
15
|
1,3
|
07.23
|
16
|
1,3
|
07.30
|
17
|
1,3
|
07.55
|
18
|
1,3
|
08.07
|
19
|
1,3
|
08.56
|
20
|
1,3
|
09.06
|
21
|
1,3
|
09.10
|
22
|
1,3
|
09.34
|
23
|
1,3
|
09.47
|
24
|
1,3
|
09.48
|
25
|
1,3
|
09.49
|
26
|
1,3
|
09.50
|
27
|
1,3
|
09.51
|
28
|
1,3
|
09.53
|
29
|
1,3
|
09.57
|
30
|
1,3
|
10.28
|
31
|
1,3
|
10.48
|
32
|
1,3
|
11.10
|
33
|
1,3
|
13.12
|
34
|
1,3
|
14.51
|
35
|
1,3
|
14.59
|
36
|
1,3
|
16.12
|
Total
|
46,8
|
|
Sisa
|
0,43
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa
konsumsi air minum Sapi PFH selama 24 jam sebanyak 36 kali dengan volume setiap
pemberian air minum sebanyak 1,3 liter, sehingga total konsumsi air minum
sebanyak 46,8 liter. Konsumsi air minum
tersebut lebih tinggi dari kisaran normal konsumsi air minum untuk sapi perah.
Syarif dan Harianto (2011) menyatakan bahwa sapi perah membutuhkan sekitar 37 –
45 liter air minum setiap harinya untuk aktifitas dan produksi. Konsumsi air
minum yang cukup tinggi tersebut dikarenakan sapi sedang mengalami masa laktasi
sehingga membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk memproduksi susu.
Selain pada masa laktasi konsumsi air minum juga dipengaruhi oleh suhu tubuh
dan lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan akan mengakibatkan peningkatan suhu
tubuh ternak, sehingga konsumsi air minum akan meningkat untuk mengurangi panas
tubuhnya. Menurut Saleh (2004), status
fisiolgis ternak akan mempengaruhi kebutuhan air minum, sapi perah dalam masa
laktasi membutuhkan air minun yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi dara, diperlukan
air minum sekitar 3,6 - 4 liter untuk menghasilkan 1 liter susu. Menurut Yani
dan Purwanto (2006), suhu tubuh berpengaruh terhadap konsumsi air minum,
semakin tinggi suhu tubuh ternak maka konsumsi air minum cenderung semakin
meningkat untuk mengurangi panas dalam tubuhnya.
Air berperan sangat penting bagi tubuh ternak,
selain sebagai alat transportasi dan menjaga kesimbangan panas dalam tubuh, air
juga berperan dalam melarutkan nutrien. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra
(2009) yang menyatakan bahwa air berperan penting dalam pemeliharaan ternak,
diantaranya sebagai transportasi zat makanan, membantu proses pencernaan,
penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme, pengatur suhu tubuh serta membantu
kerja syaraf panca indra. Konsumsi air
minum dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi umur, bobot badan, jenis
pakan, kondisi suhu lingkungan, kelembapan, radiasi matahari, aktivitas ternak
dan status fisiologis ternak. Menurut Yani dan Purwanto (2006), Penurunan atau
kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan,
produktivitas dan suhu tubuh.
4.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi
Hasil pengamatan frekuensi
urinasi sapi PFH selama 24 jam yaitu sebanyak 10 kali. Jumlah tersebut dikatakan normal karena
sesuai dengan kisaran frekuensi urinasi pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Robichaud et al. (2011) yang menyatakan bahwa dalam satu hari
sapi perah mengeluarkan urin sebanyak 3 - 19 kali. Frekuensi urinasi
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, temperatur, pakan yang dicerna, tekanan
osmotik dan kondisi kesehatan ternak.
Suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ternak mengalami cekaman
panas, sehingga ternak meningkatkan konsumsi air minum untuk mengurangi panas
tubuhnya. Semakin tinggin konsumsi air
minum, maka frekuensi urinasi ternak semakin meningkat. Menurut Yani dan
Purwanto (2006) menyatakan bahwa suhu tubuh dan kondisi lingkungan berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi air minum, semakin tinggi suhu tubuh ternak maka
semakin banyak air yang diminum, sehingga frekuensi urinasi ternak semakin
meningkat. Berikut merupakan hasil pengamatan frekuensi urinasi dan defekasi
selama 24 jam.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi
dan Defekasi
No.
|
Waktu Urinasi
|
Waktu Defekasi
|
1.
|
22.24
|
22.18
|
2.
|
03.05
|
23.17
|
3.
|
05.24
|
03.01
|
4.
|
07.15
|
03.12
|
5
|
08.00
|
05.22
|
6
|
10.20
|
06.35
|
7
|
12.28
|
07.41
|
8
|
14.25
|
08.56
|
9
|
15.32
|
14.39
|
10
|
16.58
|
15.30
|
11
|
-
|
16.30
|
12
|
-
|
17.42
|
Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Defekasi merupakan proses pengeluaran zat – zat sisa
dalam tubuh dalam bentuk feses. Selama
24 jam sapi melakukan defekasi sebanyak 12 kali. Hasil tersebut tergolong normal karena sesuai
dengan kisaran normal frekuensi defekasi pada sapi perah. Menurut Wahyuni (2010),
selama
24 jam sapi perah dalam masa laktasi dapat mengeluarkan
feses hingga 25 kali. Selain pakan yang diberikan, jenis ternak, bobot
badan, umur, kondisi lingkungan dan temperatur juga
berpengaruh terhadap frekuensi defekasi. Menurut Santosa (2004), pemberian
pakan akan mempengaruhi jumlah feses yang dikeluarkan, pakan kasar akan
mengurangi jumlah feses yang dikeluarkan oleh ternak. Menurut Vaughan et al. (2014)
menyatakan bahwa frekuensi defekasi
akan meningkat diwaktu jam-jam pemerahan dan pemberian pakan.
4.3. Anatomi Biologis Ambing
Bagian
ambing terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian eksterior dan bagian
interior.Bagian eksterior meliputi medial suspensory ligament,lateral
suspensory ligament, outer wall dan membrane. Hal ini sesuai pendapat Sarwono (2008) yang menyatakan bahwa ambing
pada sapi terdiri dari 4 puting dan 4 kuartir yang terpisah. Setiap kuartir dibatasi oleh membrane dan
medial suspensory ligament, bagian pelindung eksterior yaitu outer wall, bagian interior meliputi
alveolus, alveoli, lubuli, lobus, gland cistern, milk ductus, treat cistern,
streak canal, annular fold.
Ilustrasi
2. Bagian-bagian Eksterior Ambing
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
1
2
3
4
|
Keterangan :
1. Medial
suspensory
ligament
2. Membrane
3. Puting
4. Ligamentum
suspensorium
lateralis
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan praktikum
pengamatan anatomi ambing didapatkan hasil bahwa ambing terdiri dari 4 kuartir
yaitu kuartir kanan dan kiri yang dipisahkan
oleh medial suspensory ligament serta
kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh selaput tipis (membran), selain
itu ambing juga terdapat 4 puting yang terpisah. Hal ini sesuai dengan pendapat Mukhtar (2006)
menyatakan bahwa pada umumnya kuartir depan lebih kecil dibandingkan dengan
kuartir belakang, masing-masing kuartir mandiri atau tidak terpengaruh dengan
kuartir lainya, ligamentum suspensorium
lateralis adalah bagian yang meyelubungi ambing dari luar
Ilustrasi
3. Bagian-bagian Interior Ambing
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() |
1
2
3
4
5
6
|
Keterangan :
1. Alveoli
2. Milk Ducts
3. Annulard Fold
4. Gland cistern
5. Teat Cistern
6. Streak canal
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan bahwa organ ambing terdiri
dari alveolus, lumen, gland sistern, annular
fold dan teat meatus, di mana
alveolus merupakan jaringan terbanyak pada ambing untuk membentuk susu, lumen
untuk menampung susu yang telah disintesis, gland
cistern untuk menampung susu yang akan dikeluarkan, annular fold untuk menahan susu di dalam ambing terhadap tekanan
yang timbul akibat akumulasi susu di dalam gland sistern serta untuk mencegah
masuknya bakteri pada saat pemerahan, sedangkan teat meatus sebagai tempat keluarnya susu dari streak canal. Hal ini sesuai dengan pendapat Damayanti (2006).yang
menyatakan bahwabagian ambing yang kecil dan berwarna kemerahan merupakan
sel-sel sekretorik yang dibungkus oleh alveoli
yang bergabung menjadi satu dibungkus oleh jaringan ikat yang disebut lobulus, sejumlah lobuli membentuk lobus. Anal fold memiliki fungsi sebagai penahan susu didalam ambing. Gland
cistern merupakan titik pengumpulan saluran
dari semua saluran yang ada di dalam ambing dan sebagai tempat penampung atau reservoir susu yang telah disintesis
pada selang waktu pemerahan sebelum ke teat
cistern. Ductus memiliki fungsi sebagai penyalur susu ke sisterna.
Ambing juga memiliki saluran berongga yang menuju ke streak canal disebut teat
cistern.
Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian dalam puting yang paling
bawah supaya bakteri tidak dapat masuk. Hal
ini sesuai dengan pendapat Mukhtar (2006) yang menyatakan bahwa teat cistern adalah rongga yang ada di
dalam puting, berada dibawah jaringan sisterna kelenjar dan dibatasi oleh
lipatan-lipatan longitudinal dan sirkuler yang saling membentuk overlap
sehingga membentuk kantong yang berpotensi sebagai tempat bersarangnya bakteri. Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian
dalam puting yang paling bawah supaya bakteri tidak dapat masuk. Teat
meatus berfungsi sebagai tempat keluarnya susu dari putting. Hal ini sesuai dengan pendapat Damayanti
(2006) yang menyatakan bahwa teat meatus
berfungsi sebagai lubang akhir tempat keluarnya susu dari putting.
Pertumbuhan
organ ambing dimulai dari masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama
dengan bantuan hormon estrogen, pertumbuhan, kortisol, progesteron, dan
prolaktin. Hal ini sesuai pendapat Frandson
(1992) bahwa pertumbuhan kelenjar susu dan laktasi berada di bawah pengaruh
hormon. Menurut Tomaszewska et al. (1991) pertumbuhan dan pembelahan
kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan
pertama, pada spesies ternak peliharaan estrogen dan hormone pertumbuhan dan
kartisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan
prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveolus. Menurut Sunarko et al. (2009), sel alveoli
banyak ditemukan pada dinding alveoli, di dalam ambing terdapat 500.000 alveoli dan untuk membentuk setetes susu
memerlukan puluhan ribu alveoli.
Proses
sintesis komponen susu terjadi di alveolus
sel sekretori kelenjar ambing dengan cara menyerap zat-zat dalam darah
terlebih dahulu lalu kemudian disintesis menjadi komponen susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Jarmuji (2011)
yang menyatakan bahwa sintesis susu dilakukan oleh sel-sel sekretori pada kelenjar
susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi. Menurut Tomaszewska et al. (1991) proses sintesis komponen susu terjadi di sel alveoli
kelenjar ambing.
Proses pengeluaran susu terjadi berawal
dari rangsangan yang kemudian melewati sumsum tulang lalu ke hipotalamus, hal
ini menyebabkan oksitosin dikeluarkan dan terjadilah proses pengeluaran air
susu. Rangsangan yang ditimbulkan dari
proses menyusu menghasilkan impuls yang melewati sumsum tulang ke hipotalamus,
ini menyebabkan dikeluarkannya oksitosin dari kelenjar pituitari posterior atau
neuro hipofisis dan terjadinya refleks pancaran air susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyowati dan Erwanto (2009) bahwa hormon oxytocin dapat merangsang
keluarnya air susu (milk let down). Hanafi (2007) menyatakan bahwa otot di sekitar
alveoli berkontraksi karena adanya hormon oksitosin, kemudian air susu di dalam
alveoli akan terperas keluar dan mengalir ke saluran-saluran susu dan secara
bertahap akan makin besar ukurannya ke saluran primer, saluran primer
mengalirkan susu ke gland cistern.
Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
![]() |
![]() |
||||||
![]() |
![]() |




![]() |
Sumber: Data Primer
Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
4.4. Berat Jenis
Susu
Berdasarkan hasil
praktikum diperoleh hasil berat jenis susu segar sebesar 1,028 g/ml dan berat
jenis susu olahan sebesar 1,027 g/ml. Berdasarkan hasil ini berat jenis susu olahan sudah sesuai dengan
standar susu yaitu 1,0270 g/ml, sedangkan berat jenis susu segar berada di bawah
standar. Hal ini sesuai dengan SNI 01-3141-2011 bahwa standar berat jenis susu adalah sebesar 1,0270 g/ml. Rendahnya berat
jenis susu olahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu proses penyimpanan dan
pengemasan yang dapat menurunkan kualitas susu. Berat jenis dipengaruhi oleh
kandungan yang terlarut di dalam susu dan bahan kering serta kandungan lemak
susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami et
al. (2013) yang menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh kandungan
yang terlarut di dalam susu dimana semakin banyak senyawa yang terdapat dalam
susu maka berat jenis susu akan meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat Mardalena
(2008) yang menyatakan bahwa berat jenis susu berbanding terbalik dengan kadar
lemak susu dimana semakin tinggi kadar lemak susu maka semakin rendah berat
jenisnya.
4.5. Recording
Berdasarkan hasil praktikum rekording dapat diketahui bahwa sapi PFH
betina dengan kode D tidak memiliki nomor sapi dikarenakan sapi PFH kode D
belum pernah di inseminasi selama pemeliharaan dikandang sapi perah Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Sapi PFH betina kode D pertama kali datang ke
kandang sapi perah berada dalam keadaan bunting dengan lama kebuntingan sekitar
6 bulan, kemudian partus pada bulan November 2014 dan melahirkan pedet betina
dengan bobot lahir 33 kg. Produksi susu
rata-rata yang dihasilkan adalah 224 liter/laktasi. Kondisi sapi PFH betina kode D memiliki
kondisi kesehatan yang baik. Menurut
Hakim et al. (2010), variabel yang
biasanya dicatat dalam kegiatan rekording ternak meliputi identitas sapi,
performans produksi (khusus pada sapi perah ditambah dengan data produksi
susu), performans reproduksi serta kondisi kesehatan ternak. Kegiatan rekording yang telah dilakukan pada
pemeliharaan sapi perah PFH masih kurang lengkap yaitu tidak lengkap pada data
identitas ternak meliputi tidak terdapat data silsilah sapi dan tanggal lahir
sapi. Kurang lengkapnya data rekording pada data silsilah sapi dan tanggal
lahir sapi dapat di lengkapi dengan mengevaluasi ternak berdasarkan gigi poel
untuk mengetahui umur sapi, serta ciri-ciri dan karakteristik sapi untuk mengetahui
jenis bangsa sapi. Azizah et al.
(2013) menyatakan bahwa rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi perah di
Indonesia dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau keterampilan
peternak yang mencakup aspek penerapan sistem pencatatan, reproduksi, pemberian
pakan, pengelolaan hasil pascapanen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan
penyakit.

SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa fisiologi
lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari dapat mempengaruhi
kondisi fisiologis ternak terhadap jumlah produktivitas ternak dan performans
ternak sapi perah. Ambing sapi perah memiliki bagian antara lain puting, teat meatus, teat cistern, annular fold,
gland cistern, lumen, milk duct, alveoli, ligamentum suspensori medialis, ligamentum
suspensori lateralis dan membrane.
Air susu keluar setelah mendapat stimulus sehingga impuls akan dikirim
ke hipotalamus untuk mensekresikan hormon oxytosin agar mio epitel terangsang
untuk mengeluarkan air susu. Berat jenis susu segar dalam prakitikum berada
pada kisaran berat jenis normal yaitu 1,0270 g/ml. Kegiatan recording
dalam pemeliharaan sapi PFH masih kurang lengkap yaitu tidak lengkapnya data
pada identitas ternak, namun kegiatan pencatatan dapat dikatakan cukup baik
karena terdapat data pencatatan hasil produksi susu sapi harian.
5.2. Saran
Kegiatan pencatatan atau
rekording sebaiknya lebih diperhatikan mengingat data rekording ternak masih
kurang lengkap sehingga sulit dalam mengevaluasi usaha pemeliharaan ternak di
kandang sapi perah.

Arifin, S., H. Nugroho
and W. Busono. 2013. The HTC (Heat
Tolerance Coefficient) of Cattle Heifers Before and After Concentrating in
Low-Land Areas. Faculty of Animal Husbandry Brawijaya University, Malang.
Azizah., Kusnoto., dan
S. H. Warsito. 2013. Analisis usaha peternakan sapi perah “Bejo” di Tenggumung
Wetan kota Surabaya. J. Agroveteriner. 1(2):
37-45.
Damayanti, L. T. 2006. Laktasi
Pada Sapi Perah Sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan.
Universitas Padjajaran. (Skripsi).
Hakim, L., G. Ciptadi.,
dan V. M.A. Nurgiartiningsih. 2010. Model rekording data performans sapi potong
lokal di Indonesia. J. Ternak Tropika. 11(2):
61-73.
Hanafi, M. 2007. Pengaruh Mastitis Terhadap Kadar Total Bahan
Kering Dan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Di Unit Peternakan Kutt Suka Makmur
Grati Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang (Skripsi).
Haryadi, M. 2008. Sukses
Usaha Pembibitan Sapi & Kambing. Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Hilmia, N. 2007.
Heritabilitas sifat-sifat reproduksi sapi Fries Holland . J. Ilmu Ternak. 7(2): 157-160.
Jarmuji. 2011. Nilai korelasi antara ukuran tubuh dan ambing
induk domba lokal jonggol terhadap produksi susu. Agrinak. 1 (1):52-55.
Malaka,
R. 2010. Pengantar Teknologi Susu. Masagena Press. Makassar.
Mardalena. 2008.
Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi Terhadap Kualitas Susu Sapi Perah
Peranakan Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.11 (3) : 107 - 111.Universitas Jambi.
Mauladi, A, H. 2009. Suhu Tubuh, Frekuensi
Jantung dan Nafas Induk Sapi Frisien
Holstein yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian
Influenza H5N1. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. LPP UNS dan
UNS Press. Surakarta.
Nainggolan, Y D A. 2013. Studi
Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) Oleh Peternak Di
Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi.
Nainggolan, Y D A. 2013. Studi
Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) Oleh Peternak Di
Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi.
Nardone A, C.
T. Kadzere, dan E. Maltz. 2010. Effects
of climate change on animal production and sustainability of livestock systems.
Livest. Prod Sci. 130 (1-3) :57-69.
Nurhadi, M., 2010.
Dimensi Sosiologis dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sapi Perah. 25 (2) : 79 - 90. Universitas Sebelas Maret.
Palulungan, J. A., Adiarto dan Tety
Hartatik. 2013. Pengaruh Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi
Fisiologis Sapi Perah Peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan. 37 (3)
: 189-197.
Putra,
A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi Perah
(Studi Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). Magister Ilmu
Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. (Tesis).
Robichaud, M.V., A. M. de Passillé, D.
Pellerin and J. Rushen. 2011. When and where do dairy cows defecate and
urinate. J. Dairy Sci. 94: 4889–4896.
Rustamadji,
B. 2004. Dairy Science I.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan
Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatra Utara, Medan.
Salundik., Suryahadi.,
S. S. Mansjoer., D. Soepandi dan W. Ridwan. 2008. Analisis Kualitas Fisik dan
Kimia Susu Sapi Perah dengan Pakan Klobot Jagung dari Limbah Organik Pasar. 15 (4) : 116 - 122. Institut Pertanian Bogor.
Santosa, B. A. 2004. Buku Petunjuk
Praktikum Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sarwono, B. 2008. Beternak
Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Schutz,
K.E., A.R. Rogers, N.R. Cox NR, and C.B. Tucker. 2009. Dairy cows prefer shade
that offers greater protection against solar radiation insummer: shade use,
behavior, and body temperature. Appl Anim Behav Sci 116 : 28 – 34.
Sientje. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah
Laktasi. IPB, Bogor.
Siregar,
S. B. 2001. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar,
S. B. 2007. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeharsono.
2010. Fisiologi Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi dan Interaksi Organ pada Hewan. Widya
Padjajaran, Bandung.
Sudrajad,
P. dan Ardiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu
sapi Friesian Holstein di Balai
Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa Tengah. Semarang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.
Sunarko, C., B. Sutrasno, TH. Siwi, A. Kumalajati, H.
Supriyadi, A. Marsudi dan Budiningsih. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Bibit Sapi
Perah. BPPTU Sapi Perah Baturaden, Purwokerto.
Susilawati, E dan Masito. 2010. Teknologi Pembibitan Ternak Sapi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jambi.
Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG Terhadap Pertumbuhan Ambing dan
Produksi Susu pada Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro,
Semarang. (Tesis).
Syarif, K. E. dan B. Harianto. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Tomaszewska, W., Sutama, Putu, dan D. Chaniago.1991.
Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Umar., Razali dan A.
Novita. 2014. Derajat Keasaman dan Angka Reduktase Susu Sapi Pasteurisasi
dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda. J. Medika Veterinaria. 8 (1) : 43 - 46. Universitas Syiah Kuala.
Utami, K. B., L. E.
Radiati dan P. Surjowardojo. 2013. Kajian Kualitas Susu Sapi Perah PFH (Studi
Kasus pada Anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang).
J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 24 (2) : 58 – 66.
Universitas Brwaijaya.
Utomo, B., D. P. Miranti dan G. C. Intan. 2009. Kajian termoregulasi
sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan.
J. Teknologi Peternakan danVeteriner : 263 – 268.
Vaughan
Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen.2014.
Urination and defecation by group-housed dairy calves. J. DairySci. 97 :1 – 7.
Wahyuni M.P., Sri., 2010. Biogas,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Yani, A. dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim
mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi
lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. J. Media Peternakan.39
(1): 35 – 46.
Yani, A., H.
Suhardiyanto, R. Hasbullah dan B.P. Purwanto. 2005. Analisis dan simulasi distribusi suhu udara pada kandang
sapi perah menggunakan computational fluid dynamics (CFD). J.
Media peternakan 30 (3): 218-228.
Yasothai, D. 2014. Effect of climate on nutrient intake and metabolism
and countering heatstress by
nutritional manipulation. International Journal of Science, Environment and Technology. 3(5): 1685.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Radiasi Matahari
Rumus Radiasi Matahari
R = σT4
Keterangan : R = Radiasi matahari( Kcal/m2/jam)
Σ
= Konstanta Stefann Boltzman( 4,903 x 10-8)
T
= Suhu mutlak dalam kelvin (273 +°C)
1.
Perhitungan
radiasi matahari pukul 18.00
R = σT4
= 4,903 x 10-8x (273 + 26°C)4
= 4,903 x 10-8 x (299)4
= 391,87 kCal/m2/jam
2.
Perhitungan
radiasi matahari pukul 24.00
R = σT4
= 4,903 x 10-8 x (273 + 23°C)4
= 4,903 x 10-8 x (296)4
= 376,6 kCal/m2/jam
3.
Perhitungan
radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
= 4,903 x 10-8 x (273 + 23°C)4
= 4,903 x 10-8 x (296)4
=
376,6 kCal/m2/jam
4.
Perhitungan
radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
= 4,903 x 10-8 x (273 + 35°C)4
= 4,903 x 10-8 x (308)4
= 436,3 kCal/m2/jam
5.
Perhitungan
radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
= 4,903 x 10-8 x (273 + 27°C)4
= 4,903 x 10-8 x (300)4
= 397,1 kCal/m2/jam
Lampiran 2. Perhitungan Berat Jenis Susu
- Susu Segar
BJ susu = berat jenis terukur – (27,5-T) x 0,0002
= 1,028 – (27,5 – 28) x 0,0002
= 1,029 – (-0,05 x 0,0002)
= 1,029 + 0,0001
= 1,0281
= 1,028 g/ml
- Susu Olahan
BJ susu = berat jenis terukur – (27,5-T) x 0,0002
= 1,027 – (27,5 – 29) x 0,0002
= 1,027 – (-1,5 x 0,0002)
= 1,029 + 0,0003
= 1,0273
= 1,027 g/ml
0 komentar:
Posting Komentar