Home » , , , , , » Laporan Praktikum PTP

Laporan Praktikum PTP



LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

PRODUKSI TERNAK PERAH













Disusun oleh :



Brilian Nova J.      23010113140125









PROGRAM STUDI S-1 PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
 







BAB I

PENDAHULUAN
          Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri-ciri yang hampir menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya juga lebih kecil.  Sapi PFH yang dipelihara di Indonesia memiliki produktivitas yang lebih rendah, hal ini dikarenakan Indonesia termasuk daerah tropis yang memiliki temperatur suhu yang cukup tinggi.  Fisiologi lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologi ternak baik meliputi lingkungan kandang, perkadangan maupun daerah tertentu, faktor fisioligi lingkungan antara lain suhu udara, kelembapan udara dan radiasi matahari.  Kondisi fisiologi ternak tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu dan performans sapi perah.  Kegiatan pencatatan atau rekording pada usaha peternakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang lengkap tentang ternak sapi yang dipelihara demi perkembangan usaha peternakan.
            Tujuan dari praktikum produksi ternak perah adalah mengetahui faktor dari fisiologi lingkungan yang mempengaruhi kondisi fisiologi ternak terhadap produktivitas ternak dan performans ternak, mengetahui bagian-bagian ambing dan mekanisme keluarnya air susu serta mengetahui kualitas susu berdasarkan berat jenis susu, kemudian dapat mengevaluasi sistem recording di kandang Dairy Production.  Manfaat dari praktikum ini adalah mampu menerapkan ilmu yang diperoleh untuk perkembangan kondisi usaha peternakan sapi perah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu.  Sapi FH memiliki warna cukup terkenal, yaitu belang hitam putih dengan pembatas yang jelas dan tidak ada warna bayangan serta mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga bangsa sapi ini dapat dijumpai hampir di seluruh dunia (Rustamadji, 2004).  Bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah jenis bangsa sapi perah PFH. Sapi PFH merupakan hasil persilangan antara sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri-ciri yang hampir menyerupai FH tetapi produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya juga lebih kecil (Siregar, 2001). Sapi perah adalah sapi yang dapat memproduksi susu lebih dari kebutuhan anaknya.  Kemampuan produksi susu sapi FH dan peranakan adalah 1800-2000 kg/laktasi.  Sapi yang sering melahirkan, maka produksi susunya semakin meningkat sampai batas maksimum tertinggi pada periode laktasi saat melahirkan yang ke 4 - 5 kali, sesudah itu produksi akan cenderung menurun (Malaka, 2010).



2.2.      Fisiologi Lingkungan Sapi Perah
            Fisiologi lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi ternak baik meliputi lingkungan kandang, perkadangan maupun daerah tertentu, faktor yang mempengaruhi fisioligi lingkungan adalah suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi matahari.  Faktor iklim utama yang berpengaruh terhadap produksi antara lain suhu udara, kelembapan dan radiasi matahari.  Komponen lingkungan abiotik utama yang pengaruhnya nyata terhadap ternak antara lain temperatur, kelembaban, curah hujan, angin dan radiasi matahari (Sientje, 2003).  Terdapat empat unsur yang mempengaruhi produktivitas ternak yaitu terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin, sedangkan dua unsur lainnya yang juga berpengaruh yaitu curah hujan dan evaporasi yang mempengaruhi produktivitas ternak secara tidak langsung      (Yani dan Purwanto, 2006).

2.2.1.   Suhu Lingkungan
            Suhu lingkungan sapi perah adalah faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak sapi perah suhu lingkungan di bagi menjadi dua yaitu suhu makro dan suhu mikro.  Suhu udara yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah di daerah tropis berkisar antara 18-21oC dan di Indonesia lingkungan tersebut terdapat di wilayah dengan ketinggian serendah-rendahnya yaitu 500 mdpl (Utomo et al., 2009).  Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas sapi perah.  Peningkatan performams sapi perah agar sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen suhu lingkungan yang tepat, sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman panas pada tubuh ternak (Nardone et al., 2010).

2.2.2.   Kelembaban
            Kelembaban adalah faktor iklim yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak sapi perah, hal ini di karenakan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak.  Ternak sapi di daerah tropis, tingkat kenyamanan ternak secara umum berada pada kisaran suhu 22 - 30oC dan kelembaban sebesar 40 - 80% (Arifin et al., 2013).  Semakin tinggi kelembapan, maka tingkat penguapan semakin rendah, sehingga mengakibatkan sapi mengalami cekaman panas.  Tingginya kelembaban dapat mempengaruhi produktivitas sapi dan dapat menyebabkan perubahan tingkah laku seperti penurunan konsumsi pakan (Yasothai, 2014).

2.2.3.   Radiasi Matahari
            Radiasi adalah proses pemindahan panas dari suatu benda-kebenda lain. Radiasi matahari berkaitan erat dengan suhu lingkungan.  Suhu lingkungan berpengaruh terhadap aktivitas organ – organ dan kegiatan ternak.  Radiasi matahari secara langsung dapat mengakibatkan sapi PFH tidak nyaman sehingga menimbulkan efek negatif terutama pada siang hari (Haryadi, 2008).  Rata-rata radiasi matahari 399,59 kcal/m2/jam tinggi rendahnya radiasi dipengaruhi oleh letak geografis dan iklim, ketinggian tempat, (Yani dan Purwanto, 2006).

2.2.4.   Perkandangan Sapi Perah
Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak bersamaaan dengan pengelolaan atau peralatan yang mendukung proses kehidupan ternak sedangkan kandang merupakan tempat tinggal ternak untuk melakukan berbagai aktifitas didalamnya termasuk produksi dan reproduksi (Siregar, 2007).  Bentuk dan tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak.  Kebersihan kandang juga merupakan aspek penting karena dapat mempengaruhi kondisi ternak itu sendiri (Soeharsono, 2010).

2.3.      Fisiologi Ternak Sapi Perah
Kondisi fisiologis ternak dapat ditinjau melalui suhu rektal, laju respirasi, dan frekuensi denyut nadi (Palulungan et al., 2013).  Kondisi fisiologis ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi kondisi suhu dan kelembaban lingkungan, aktivitas, umur, konsumsi pakan, kebuntingan, cekaman dan tingkat stress (Mauladi, 2009).

2.3.1.   Suhu tubuh
Suhu tubuh normal pada sapi PFH berkisar antara 38,2 - 39,1oC       (Schutz et al., 2009).  Kondisi suhu yang nyaman akan membuat ternak terhindar dari cekaman, sehingga produktivitas ternak sapi akan semakin meningkat     (Yani dan Purwanto, 2006).  Suhu tubuh sapi yang bervariasi dipengaruhi oleh umur, waktu pengukuran, kondisi lingkungan, aktivitas fisik dan fungsi reproduksi pada sapi (Rosenberger, 1979 ; Mauladi, 2009). Peningkatan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kondisi lingkungan, dimana suhu lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan suhu tubuh ternak (Nainggolan, 2013).

2.3.2.   Denyut nadi
            Frekuesi denyut nadi sapi perah yang normal berkisar antara 46 - 84 kali/menit, dimana pada kisaran tersebut ternak dalam keadaan yang baik, nyaman serta tidak mengalami cekaman dan stress (Sudrajad dan Adiarto, 2011).  Frekuensi jantung dipengaruhi oleh aktivitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan yang seperti suhu lingkungan dan kelembaban udara (Mauladi, 2009).  Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin    (Yani dan Purwanto, 2006).
           
2.3.3.   Frekuensi nafas
            Kisaran normal frekuensi pernafasan pada sapi berkisar antara 23 - 32 kali/menit (Sudrajad dan Adiarto, 2011).  Frekuensi nafas dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ukuran tubuh, umur ternak dan aktifitas fisik, kegelisahan, kebuntingan dan kondisi kesehatan ternak (Nainggolan, 2013).  Semakin tua umur ternak maka frekuensi nafas semakin rendah, selain itu aktivitas fisik yang tinggi juga akan menyebabkan peningkatan frekuensi nafas pada ternak (Mauladi, 2009).

2.3.4.   Konsumsi air minum
Sapi perah membutuhkan sekitar 37 – 45 liter air minum setiap harinya untuk aktifitas dan produksi             (Syarif dan Harianto, 2011).  Status fisiolgis ternak akan mempengaruhi kebutuhan air minum, sapi perah dalam masa laktasi membutuhkan air minum yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi dara, diperlukan air minum sekitar 3,6 - 4 liter untuk menghasilkan 1 liter susu     (Saleh, 2004).  Suhu tubuh berpengaruh terhadap konsumsi air minum, semakin tinggi suhu tubuh ternak maka konsumsi air minum cenderung semakin meningkat untuk mengurangi panas dalam tubuhnya (Yani dan Purwanto, 2006).  Air mempunyai peran yang penting dalam pemeliharaan ternak, diantaranya sebagai transportasi zat makanan, membantu proses pencernaan, penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme, pengatur suhu tubuh serta membantu kerja syaraf panca indra (Putra, 2009). Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh (Yani dan Purwanto, 2006).

2.3.5.   Frekuensi urinasi
Frekuensi urinasi sapi perah dalam 24 jam dapat mengeluarkan urine sebanyak 3 - 19 kali (Robichaud et al., 2011). Suhu tubuh dan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi air minum, semakin banyak air yang diminum maka semakin meningkat pula frekuensi urinasi ternak (Yani dan Purwanto, 2006).
2.3.6.   Frekuensi defekasi
Selama 24 jam sapi perah dalam masa laktasi dapat mengeluarkan feses hingga 25 kali (Wahyuni, 2010). Pemberian pakan akan mempengaruhi jumlah feses yang dikeluarkan. Pakan kasar akan mengurangi jumlah feses yang dikeluarkan oleh ternak (Santosa, 2004). Frekuensi defekasi akan meningkat diwaktu jam-jam pemerahan dan pemberian pakan (Vaughan et al., 2014).

2.4.      Anatomi Biologis Ambing
2.4.1.   Perkembangan Ambing
            Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama, pada spesies ternak peliharaan estrogen dan hormone pertumbuhan dan kartisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesterone dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveolus.  Proses perkembangan ambing dimulai dari fase prenatal, fase natal, fase post pubertas, fase kebuntingan dan melahirkan.  Proses sintesis komponen susu terjadi di sel alveoli kelenjar ambing          (Jarmuji, 2011).  Ambing merupakan kelenjar kulit yang tertutup oleh bulu dilengkapi suatu saluran ke bagian luar (puting) yang tidak tertutup bulu.  Ambing merupakan alat penghasil susu.  Bentuk ambing yang besar serta panjang mempunyai produksi susu yang lebih tinggi (Frandson, 1992). 


2.4.2.   Anatomi dan Fisiologi Ambing
Ambing pada sapi terdiri dari 4 puting dan 4 kuartir yang terpisah. Setiap kuartir terdiri dari jaringan ikat, lemak serta jaringan penghasil susu atau alveoli (Sarwono, 2008).  Umumnya kuartir depan lebih kecil dibandingkan dengan kuartir belakang, masing-masing kuartir mandiri atau tidak terpengaruh dengan kuartir lainya, ligamentum suspensorium medialis mempunyai fungsi sebagai pemisah antara kuartir kanan dan kuartir kiri, ligamentum suspensorium lateralis adalah bagian yang meyelubungi ambing dari luar dan pemisah antara kuartir depan dan belakang (Mukhtar, 2006).  Bagian ambing yang kecil dan berwarna kemerahan merupakan sel-sel sekretorik yang dibungkus oleh alveoli yang bergabung menjadi satu dibungkus oleh jaringan ikat yang disebut lobulus, sejumlah lobuli membentuk lobus (Damayanti, 2006).  Anal fold memiliki fungsi sebagai penahan susu didalam ambing. Gland cistern merupakan titik pengumpulan saluran dari semua saluran yang ada di dalam ambing dan sebagai tempat penampung atau reservoir susu yang telah disintesis pada selang waktu pemerahan sebelum ke teat cistern.  Ductus memiliki fungsi sebagai penyalur susu ke sisterna.  Ambing juga memiliki saluran berongga yang menuju ke streak canal disebut teat cistern.Teat cistern adalah rongga yang ada di dalam puting, berada dibawah jaringan sisterna kelenjar dan dibatasi oleh lipatan-lipatan longitudinal dan sirkuler yang saling membentuk overlap sehingga membentuk kantong yang berpotensi sebagai tempat bersarangnya bakteri (Mukhtar, 2006).  Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian dalam puting yang paling bawah supaya bakteri tidak dapat masuk.  Teat meatus berfungsi sebagai lubang akhir tempat keluarnya susu dari puting (Damayanti, 2006).

2.4.3.   Pembentukan Susu dan Biosintesis Susu
Proses sintesis komponen susu terjadi di sel alveoli kelenjar ambing,  rangsangan yang ditimbulkan dari proses menyusu menghasilkan impuls yang melewati sumsum tulang ke hipotalamus, ini menyebabkan dikeluarkannya oksitosin dari kelenjar pituitari posterior atau neuro hipofisis dan terjadinya refleks pancaran air susu (Tomaszewska et al.,1991).  Sintesis susu dilakukan oleh sel-sel sekretori pada kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi ternak (Jarmuji, 2011).  Sel alveoli banyak ditemukan pada dinding alveoli, di dalam ambing terdapat 500.000 alveoli dan untuk membentuk setetes susu memerlukan puluhan ribu alveoli (Sunarko et al., 2009).

2.4.4.   Pengeluaran Susu
Hormon oxytocin dapat merangsang keluarnya air susu (milk let down) (Sulistyowati dan Erwanto, 2009).  Otot di sekitar alveoli berkontraksi karena adanya hormon oksitosin, kemudian air susu di dalam alveoli akan terperas keluar dan mengalir ke saluran-saluran susu dan secara bertahap akan makin besar ukurannya ke saluran primer, saluran primer mengalirkan susu ke dalam gland cistern (Hanafi, 2007).


2.5.      Susu Sapi Perah
         Susu sapi perah merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani memiliki nilai gizi tinggi dan mempunyai komposisi zat gizi lengkap yang penting dalam mencukupi kebutuhan gizi.Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat yang diperoleh dari cara pemerahan yang benar tanpa adanya pengurangan dan penambahan sesuatu komponen atau bahan lain (Nurhadi, 2010).  Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara yang benar dimana kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (Salundik et al., 2008).  Kualitas fisik dan kimia susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode laktasi (Utami et al., 2013).

2.5.1.   Syarat Susu Sapi Perah
            Syarat susu yang baik meliputi berat jenis, kadar lemak, kadar BKTL, kadar protein, warna, bau, rasa, kekentalan, derajat asam, pH, uji alkohol, titik beku, dan uji mikrobiologi.  Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terhadap susu antara lain Total Plate Count (TPC), Most Probable Number (MPN) Coliform, E. coli, S. aureus dan Salmonella(Suwito dan Andriani, 2012).Persyaratan mutu susu segar antara lain mempunyai berat jenis minimum 0,0270 g/ml; kadar lemak minimum 3%; kadar BKTL minimum 7,8%; kadar protein minimum 2,8%; warna, bau, rasa, dan kekentalan tidak berubah; derajat asam 6,0-7,5°SH; pH 6,3-6,8; uji alkohol (70%) dengan hasil negatif, cemaran mikroba yang meliputi Total Plate Count 1x106 CFU/ml, Staphylococcus aureus 1x102 CFU/ml,  Enterobacteriaceae 1x103 CFU/ml dan titik beku antara -0,520 – 0,560°C (SNI 01-3141-2011).

2.5.2.   Komponen Susu

            Susu merupakan bahan makanan yang berasal dari ternak yang bernilai gizi tinggi. Susu sapi berasal dari sapi perah yang merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Komposisi rata-rata air susu sapi mengandung 3,3% protein; 3,8% lemak; 4,7% karbohidrat; 87,6% air; 0,7% vitamin dan mineral (Umar et al., 2014). Komponen air susu antara lain terdiri dari protein sebesar 2,7%, lemak 3%, bahan kering 11% dan Bahan Kering Tanpa Lemak(BKTL) minimum sebesar 7,8% (SNI 01-3141-2011). Kualitas fisik dan kimia susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan, perubahan musim dan periode laktasi (Utamiet al., 2013).

2.5.3.   Berat Jenis Susu
            Berat jenis susu adalah angka perbandingan antara berat dan volume susu (Mardalena, 2008). Berat jenis susu berdasarkan SNI 01-3141-2011 yaitu 1,0270 g/ml (Salundik et al., 2008). Faktor yang mempengaruhi berat jenis susu adalah proses pengolahan, penyimpanan, pengemasan, bahan kering, dan kadar lemak susu. Berat jenis susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu dimana semakin tinggi kadar lemak susu maka semakin rendah berat jenisnya.Berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan yang terlarut didalam susu dimana semakin banyak senyawa yang terdapat dalam susu maka berat jenis susu akan meningkat (Utami et al., 2013).

2.6.      Recording
            Recording ternak merupakan proses pencatatan semua kegiatan dan kejadian yang dilakukan pada suatu usaha peternakan.  Variabel yang dicatat dalam kegiatan recording ternak meliputi identitas sapi, performans produksi (khusus pada sapi perah ditambah dengan data produksi susu), performans reproduksi serta kondisi kesehatan ternak.  Recording yang baik dapat memberikan informasi tentang keadaan dan kondisi ternak secara individu maupun secara keseluruhan dalam kelompok ternak (Hakim et al., 2010).  Data identitas ternak dalam pencatatan meliputi nama atau nomor sapi, umur sapi dan tanggal beranak, hal ini diperlukan untuk menghitung selang beranak, tanggal inseminasi atau kawin yang menghasilkan kebuntingan, sehingga catatan ini dapat digunakan untuk menghitung masa kosong dan jumlah kawin sampai ternak itu bunting (Hilmia, 2007).  Kegiatan pencatatan atau recording pada usaha peternakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang lengkap tentang ternak sapi yang dipelihara. Informasi yang diperoleh dari data recording akan digunakan dalam rangka pengambilan keputusan sehari-hari, misalnya menentukan secara tepat kapan mengawinkan, mengeringkan atau mengafkir seekor sapi serta bagaimana memberi pengobatan atau penanganan bagi seekor ternak yang sakit, serta untuk evaluasi terhadap manejemen yang sedang dijalankan dan untuk perencanaan jangka panjang.  Rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi perah di Indonesia dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau keterampilan peternak yang mencakup aspek penerapan sistem pencatatan, reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit (Azizah et al., 2013).



BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Anatomi Biologis Ambing dan Pengukuran Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari Senin tanggal 11 Mei 2015 pukul 13.00 – 15.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah Divisi Ternak Perah. Praktikum dengan materi Fisiologi Lingkungan, Fisiologi Ternak dan Recording dilaksanakan hari Jumat dan Sabtu tanggal 22 – 23 Mei 2015 pukul 18.00 – 18.00 WIB di Kandang Dairy Production Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1.      Materi
     Materi yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah antara lain yaitu awetan organ ambing sapi perah, susu murni dan susu UHT 500 ml serta satu ekor sapi Peranakan Friesian Holstein.  Peralatan yang digunakan antara lain tabung ukur untuk tempat susu saat uji berat jenis, laktodensimeter untuk mengukur berat jenis susu, termometer untuk mengukur suhu lingkungan di dalam dan luar kandang, black globe termometer untuk mengukur radiasi matahari, hygrometer untuk mengukur kelembapan di dalam dan di luar kandang, termometer klinis untuk mengukur suhu rektal sapi, stetoskop untuk menghitung frekuensi denyut nadi sapi, stopwatch untuk menghitung waktu, alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan.  


3.2.      Metode
3.2.1.   Fisiologi lingkungan
            Fisiologi lingkungan diamati dengan cara menghitung suhu lingkungan, kelembapan, radiasi matahari dan perkandangan sapi perah.

3.2.1.1.Suhu lingkungan, pengukuran suhu dilakukan dengan cara menempatkan termometer pada luar kandang dan di dalam kandang lalu mengamati suhu lingkungan pada termometer. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.

3.2.1.2.Kelembapan, pengukuran kelembapan dilakukan dengan menempatkan hygrometer di luar kandang dan di dalam kandang lalu mengamati besar kelembapan yang ada pada hygrometer. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.

3.2.1.3.Radiasi matahari, pengukuran radiasi matahari dilakukan dengan menempatkan black globe temperature pada lingkungan luar kandang yang terkena sinar matahari langsung.  Mengamati suhu yang ada pada black globe temperature sebanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB lalu menghitung radiasi matahari dengan menggunakan rumus :
R = δ.T4
Keterangan :
R = Radiasi Matahari (kCal/m2/jam)
δ = Konstanta Stefann Boltzman (4,903 x 10-8)
T = Suhu mutlak dalam Kelvin (273 + °C)

3.2.1.4. Perkandangan sapi perah, pengukuran kandang sapi perah dengan cara mengukur panjang dan lebar kandang, tinggi atap, panjang, lebar, kedalaman dan tinggi palung, panjang, lebar dan kedalaman selokan, lebar, panjang dan tinggi flock serta kamar susu.

3.2.2.   Fisiologi Ternak
Fisiologi ternak dapat diketahui dengan cara mengukur suhu rektal, denyut nadi, frekuensi pernafasan, konsumsi air minum, frekuensi urinasi, frekuensi defekasi.

3.2.2.1. Suhu rektal, pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukkan termometer rektal ke dalam rektal sapi kemudian tunggu hingga termometer berbunyi lalu catat suhu rektal yang ada pada termometer rektal, pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB dilakukan dua kali setiap pengukuran.

3.2.2.2. Denyut nadi, pengukuran denyut nadi dilakukan dengan menggunakan stetoskop yang diarahkan di bagian depan kaki kiri sapi, hitung banyaknya denyut nasi selama satu menit dan dilakukan sebanyak dua kali. Pengukuran dilakukan seanyak 5 kali pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.

3.2.2.3. Frekuensi pernafasan, pengukuran frekuensi nafas dilakukan dengan cara mendekatkan telapak tangan ke hidung sapi lalu hitung banyaknya hembusan nafas sapi selama satu menit dan dilakukan sebanyak dua kali. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00, 12.00, 18.00 dan 24.00 WIB.

3.2.2.4. Konsumsi air minum, pengukuran konsumsi air minum dihitung dengan cara mengamati tempat minum sapi yang harus selalu diisi ketika kosong dan mencatat waktu pada saat penambahan air minum pada wadah. Pengukuran dilakukan selama 24 jam.

3.2.2.5. Frekuensi urinasi, pengukuran frekuensi urinasi dilakukan dengan cara mengamati sapi pada saat urinasi dan mencatat waktu pada saat sapi urinasi. Pengukran dilakukan selama 24 jam.

3.2.2.6. Frekuensi defekasi, Pengukuran frekuensi defekasi dilakukan dengan mencatat waktu pada saat sapi melalukan defekasi. Pengukuran dilakukan selama 24 jam.

3.2.3. Anatomi Biologis Ambing
Pengamatan anatomi biologis ambing dilakukan dengan cara mengamati awetan organ ambing sapi perah pada bagian eksterior dan interior ambing.  Mendiskusikan tentang organ eksterior dan interior serta fungsi dan peranan dari ambing.

3.2.4.   Pengukuran Berat Jenis Susu
Pengamatan berat jenis susu dilakukan dengan menempatkan susu murni dan susu UHT pada tabung ukur lalu celupkan laktodensimeter kedalam cairan air susu, kemudian amati berat jenis terukur pada laktodensimeter.  Menghitung berat jenis susu dengan rumus :
Berat Jenis = Berat Jenis terukur – (27,5 – T) x 0,0002
Keterangan :
T = Suhu terukur (ºC)


BAB IV
HASIL DAN PEMBASAHAN
4.1.      Fisiologi Lingkungan
            Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban dan Radiasi Matahari
No
Jam
Suhu (°C)
Kelembapan (%)
Radiasi Matahari
(Kcal/m2/jam)
Dalam
Luar
Dalam
Luar
1.
18.00
28
25
66
83
391,87
2.
00.00
37,9
38
37,95
92
376,6
3.
06.00
26
24
37
91
376,6
4.
12.00
33,5
47
38
71
436,6
5.
18.00
30
27
58
68
397
Rerata
28,7
29,2
60,8
63,2
395,69

Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.1.1.   Suhu Lingkungan
            Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa rata-rata suhu dalam dan suhu luar adalah 28,7°C dan 29°C.  Hasil ini menunjukkan bahwa suhu lingkungan tergolong tinngi untuk pemiliharaan sapi di daerah tropis, karena suhu ideal bagi sapi perah di daerah tropis berkisar antara 20°C -  26°C.  Hal ini sesuai dengan pendapat Purwanto (2004) yang menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat menghasilkan produksi secara maksimal apabila berada dalam comfort zone yaitu berkisar antara 20°C -  26°C.  Yani et al. (2007) menambahkan bahwa suhu udara dalam kandang memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap.  Ketidaknyamanan ternak PFH karena suhu mempengaruhi performans dan peternak harus melakukan inovasi manajemen lingkungan supaya ternak sapi PFH tidak terus mendapatkan cekaman lingkungan.

4.1.2.   Kelembaban
            Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa kelembaban dalam kandang maupun luar kandang adalah sebesar 60,8% dan 63,2% baik kelembaban dalam maupun luar tidak menunujukkan perbedaan yang signifikan.  Kelembaban ini masih dalam batas yang normal di mana kelembaban rata-rata daerah tropis berada di kisaran 40 - 80%.  Hal ini sesuai dengan pendapat Arifinet al. (2013) menyatakan bahwa ternak sapi di daerah tropis, tingkat kenyamanan ternak secara umum berada pada kisaran suhu antara 22 - 30oC dengan kelembaban sebesar 40 - 80%.  Semakin tinggi kelembaban dapat mempengaruhi pruduktivitas ternak, karena semakin tinggi kelembaban akan merubah pola tingkah laku pakan ternganggu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yasothai (2014) yang menyatakan bahwa tingginya kelembaban dapat mempengaruhi produktivitas sapi dan dapat menyebabkan perubahan tingkah laku seperti penurunan konsumsi pakan.

4.1.3.   Radiasi Matahari
            Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa rata-rata radiasi matahri adalah sebesar 395,69 kkal/m2/jam. Radiasi matahari terendah ada pada jam 00.00 dan 06.00 pagi yaitu sebesar 376,6 Kcal/m2/jam dan radiasi matahari tertinggi pada jam 12.00 siang yaitu sebesar 436,6 Kcal/m2/jam.  Pada kondisi tersebut sapi PFH sudah mengalami cekaman panas, sehingga sebagai usaha mempertahankan suhu tubuhnya, ternak tersebut mencari naungan.  Hal ini di dukung oleh Haryadi (2008) yang menyatakan bahwa radiasi matahari secara langsung dapat mengakibatkan sapi PFH tidak nyaman sehingga menimbulkan efek negatif terutama pada siang hari.  Dari hasil rata-rata yang menunjukkan bahwa hasil sebesar 395,69 kkal/m2/jam dapat di kategorikan normal, tinggi rendahnya radiasi matahari di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu letak geografis, kecepatan angin dan keadaan iklim.  Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa rata-rata radiasi matahari 399,59 kcal/m2/jam, tinggi rendahnya radiasi dipengaruhi oleh letak geografis, iklim, dan ketinggian tempat.

4.1.4.   Perkandangan
            Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data sebagai berikut :
            Tabel 2. Hasil Pengukuran Kandang
                        Parameter
Ukuran
Panjang Kandang (m)
14,7
Lebar Kandang (m)
10,21
Tinggi Kandang (m)
3,4
Panjang palung (m)
9,18
Lebar palung (cm)
5,45
Kedalaman palung (cm)
50
Tinggi palung (cm)
80
Panjang selokan (m)
9,75
Lebar selokan (cm)
25
Kedalaman selokan (cm)
6,5
Lebar  flock (cm)
160
Panjang flock (cm)
195
Tinggi flock (cm)
129
Kamar susu (m2)
10,66

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan pengamatan kandang sapi perah milik Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro memiliki sistem kandang konvensional dan dalam penempatan ternak dilakukan secaara Tail to Tail, banyak aspek yang di amati dalam perkandangan ini di maksudkan agar ternak merasa nyaman selama tinggal di dalam kandang karena kandang merupakan tempat ternak melakukan berbagai aktivitas dan tempat perlindungan bagi ternak.  Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (2007) yang menyatakan bahwa kandang merupakan tempat tinggal ternak untuk melakukan berbagai aktifitas, didalamnya termasuk produksi dan reproduksi.  Bentuk dan desain kandang juga harus di sesuaikan dengan kondisi agroklimat dan fisioligis ternak itu sendiri.  Hal ini sesuai dengan pendapat Soeharsono (2010) yang menyatakan bahwa tipe kandang hendaknya disesuaikan dengan lokasi berdasarkan agroklimat, pola atau tujuan pemeliharaan dan kondisi fisiologis ternak.  Kebersihan kandang juga merupakan aspek penting karena dapat mempengaruhi kondisi ternak itu sendiri.

Ilustrasi 1. Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)

Description: DSC_0572.JPG

Description: DSC_0571.JPG

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.2.      Fisiologi Ternak
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi fisiologi ternak didapatkan hasil suhu tubuh, denyut nadi dan frekuensi nafas sebagai berikut :
 Tabel 3. Hasil Pengukuran Suhu Tubuh, Denyut Nadi dan Frekuensi   Nafas
                                                   
No.
Jam
Suhu Tubuh
Denyut Nadi
Frekuensi Nafas


-----°C-----
----------kali/menit----------
1.
18.00
38,55
35
24
2.
24.00
37,95
38,5
23
3.
06.00
38,00
57
25,5
4.
12.00
38,50
77
51
5.
18.00
38,75
35
30,5

Rerata
38,35
48
31
 
          Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

Pengukuran fisiologi ternak meliputi pengukuran suhu rektal, denyut nadi dan frekuensi pernafasan.  Menurut Palulungan et al. (2013), kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui suhu rektal, laju respirasi, dan frekuensi denyut nadi. Kondisi fisiologis ternak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, umur, konsumsi pakan, aktivitas ternak dan tingkat stres.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mauladi (2009) yang menyatakan bahwa kondisi fisiologis ternak dipengaruhi oleh kondisi suhu dan kelembapan lingkungan, aktivitas, umur, konsumsi pakan, kebuntingan, cekaman dan tingkat stres.

4.2.1. Suhu tubuh

Suhu tubuh sapi yang diukur dalam praktikum berkisar antara 37 - 39oC  dengan rata – rata  38,35°C. Suhu tubuh tersebut dikatakan baik, karena sesuai dengan kisaran suhu tubuh normal, sehingga sapi dalam keadaan yang nyaman dan tidak terkena cekaman.  Hal ini sesuai dengan pendapat Schutz et al. (2009) yang menyatakan bahwa suhu tubuh normal pada Sapi PFH berkisar antara 38,2 - 39,1oC. Menurut Yani dan Purwanto (2006), kondisi suhu yang nyaman akan membuat ternak terhindar dari cekaman, sehingga produktivitas ternak akan semakin meningkat. Suhu tubuh ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, aktivitas, kondisi lingkungan dan kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosenberger (1979) yang disitasi Mauladi (2009) bahwa suhu tubuh sapi yang bervariasi dipengaruhi oleh umur, waktu pengukuran, kondisi lingkungan, aktivitas fisik dan fungsi reproduksi pada sapi. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap suhu tubuh ternak, dimana saat suhu lingkungan meningkat maka suhu tubuh ternak akan mengalami peningkatan pula.  Hal ini sesuai dengan pendapat Nainggolan (2013) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kondisi lingkungan, dimana suhu lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan suhu tubuh ternak.

4.2.2.   Denyut nadi
            Denyut nadi sapi yang diukur dalam praktikum berkisar antara 31 – 78 kali/menit dengan rata – rata 48 kali/menit. Hasil tersebut dikatakan baik karena sesuai dengan kisaran denyut nadi normal, sehingga sapi tersebut berada dalam kondisi yang nyaman.  Hal ini sesuai pendapat Sudrajad dan Adiarto (2011) yang menyatakan bahwa frekuesi denyut nadi sapi perah yang normal berkisar antara 46 - 84 kali/menit, dimana pada kisaran tersebut ternak dalam keadaan yang baik, nyaman serta tidak mengalami cekaman dan stress. Frekuensi denyut nadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, pakan yang diberikan, aktivitas, suhu dan kelembapan, lingkungan serta kondisi kesehatan ternak.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mauladi (2009) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya frekuensi jantung dipengaruhi oleh aktivitas fisik tubuh, latihan dan kondisi lingkungan seperti suhu lingkungan dan kelembapan udara. Menurut Yani dan Purwanto (2006), peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin.

4.2.3.   Frekuensi nafas
            Frekuensi nafas yang dikur dalam praktikum berkisar antara 23 - 53 kali/menit dengan rata rata 31 kali per menit.  Hasil tersebut dikatakan baik karena sesuai dengan kisaran denyut nadi normal, sehingga sapi tersebut berada dalam kondisi yang nyaman.  Hal ini sesuai pendapat Sudrajad dan Adiarto (2011) yang menyatakan bahwa  kisaran normal frekuensi pernafasan pada sapi berkisar antara 23 - 32 kali/menit.  Frekuensi nafas dipengaruhi oleh aktivitas ternak, umur, kondisi lingkungan, ukuran tubuh dan kebuntingan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Nainggolan (2013) yang menyatakan bahwa selain suhu lingkungan, ukuran tubuh, umur ternak dan aktifitas fisik, tinggi rendahnya frekuensi nafas juga dipengaruhi oleh kegelisahan, kebuntingan dan kondisi kesehatan ternak.  Menurut Mauladi (2009), semakin tua umur ternak maka frekuensi nafas semakin rendah, selain itu aktivitas fisik yang tinggi juga akan menyebabkan peningkatan frekuensi nafas pada ternak.

4.2.4.   Konsumsi air minum
Pengamatan komsumsi air minum selama 24 jam didapatkan hasil sebagai berikut :
             Tabel 4. Hasil Pengukuran Konsumsi Air Minum
Pengisian ke-
Volume (L)
Jam Pengisian
1
1,3
18.30
2
1,3
22.35
3
1,3
04.35
4
1,3
06.39
5
1,3
06.40
6
1,3
06.42
7
1,3
06.43
8
1,3
06.45
9
1,3
06.48
10
1,3
06.50
11
1,3
06.55
12
1,3
06.55
13
1,3
07.18
14
1,3
07.20
15
1,3
07.23
16
1,3
07.30
17
1,3
07.55
18
1,3
08.07
19
1,3
08.56
20
1,3
09.06
21
1,3
09.10
22
1,3
09.34
23
1,3
09.47
24
1,3
09.48
25
1,3
09.49
26
1,3
09.50
27
1,3
09.51
28
1,3
09.53
29
1,3
09.57
30
1,3
10.28
31
1,3
10.48
32
1,3
11.10
33
1,3
13.12
34
1,3
14.51
35
1,3
14.59
36
1,3
16.12
Total
46,8

Sisa
0,43


Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Berdasarkan hasil praktikum diketahui bahwa konsumsi air minum Sapi PFH selama 24 jam sebanyak 36 kali dengan volume setiap pemberian air minum sebanyak 1,3 liter, sehingga total konsumsi air minum sebanyak 46,8 liter.  Konsumsi air minum tersebut lebih tinggi dari kisaran normal konsumsi air minum untuk sapi perah. Syarif dan Harianto (2011) menyatakan bahwa sapi perah membutuhkan sekitar 37 – 45 liter air minum setiap harinya untuk aktifitas dan produksi. Konsumsi air minum yang cukup tinggi tersebut dikarenakan sapi sedang mengalami masa laktasi sehingga membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk memproduksi susu. Selain pada masa laktasi konsumsi air minum juga dipengaruhi oleh suhu tubuh dan lingkungan. Peningkatan suhu lingkungan akan mengakibatkan peningkatan suhu tubuh ternak, sehingga konsumsi air minum akan meningkat untuk mengurangi panas tubuhnya.  Menurut Saleh (2004), status fisiolgis ternak akan mempengaruhi kebutuhan air minum, sapi perah dalam masa laktasi membutuhkan air minun yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi dara, diperlukan air minum sekitar 3,6 - 4 liter untuk menghasilkan 1 liter susu. Menurut Yani dan Purwanto (2006), suhu tubuh berpengaruh terhadap konsumsi air minum, semakin tinggi suhu tubuh ternak maka konsumsi air minum cenderung semakin meningkat untuk mengurangi panas dalam tubuhnya.
Air berperan sangat penting bagi tubuh ternak, selain sebagai alat transportasi dan menjaga kesimbangan panas dalam tubuh, air juga berperan dalam melarutkan nutrien. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra (2009) yang menyatakan bahwa air berperan penting dalam pemeliharaan ternak, diantaranya sebagai transportasi zat makanan, membantu proses pencernaan, penyerapan dan pembuangan hasil metabolisme, pengatur suhu tubuh serta membantu kerja syaraf panca indra.  Konsumsi air minum dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi umur, bobot badan, jenis pakan, kondisi suhu lingkungan, kelembapan, radiasi matahari, aktivitas ternak dan status fisiologis ternak. Menurut Yani dan Purwanto (2006), Penurunan atau kenaikan konsumsi air minum dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jumlah makanan, produktivitas dan suhu tubuh.

4.2.5.   Frekuensi urinasi dan defekasi
Hasil pengamatan frekuensi urinasi sapi PFH selama 24 jam yaitu sebanyak 10 kali.  Jumlah tersebut dikatakan normal karena sesuai dengan kisaran frekuensi urinasi pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan pendapat Robichaud et al. (2011) yang menyatakan bahwa dalam satu hari sapi perah mengeluarkan urin sebanyak 3 - 19 kali. Frekuensi urinasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, temperatur, pakan yang dicerna, tekanan osmotik dan kondisi kesehatan ternak.  Suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ternak mengalami cekaman panas, sehingga ternak meningkatkan konsumsi air minum untuk mengurangi panas tubuhnya.  Semakin tinggin konsumsi air minum, maka frekuensi urinasi ternak semakin meningkat. Menurut Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa suhu tubuh dan kondisi lingkungan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi air minum, semakin tinggi suhu tubuh ternak maka semakin banyak air yang diminum, sehingga frekuensi urinasi ternak semakin meningkat. Berikut merupakan hasil pengamatan frekuensi urinasi dan defekasi selama 24 jam.
             Tabel 5. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
No.
Waktu Urinasi
Waktu Defekasi
1.
22.24
22.18
2.
03.05
23.17
3.
05.24
03.01
4.
07.15
03.12
5
08.00
05.22
6
10.20
06.35
7
12.28
07.41
8
14.25
08.56
9
15.32
14.39
10
16.58
15.30
11
-
16.30
12
-
17.42

Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.
Defekasi merupakan proses pengeluaran zat – zat sisa dalam tubuh dalam bentuk feses.  Selama 24 jam sapi melakukan defekasi sebanyak 12 kali.  Hasil tersebut tergolong normal karena sesuai dengan kisaran normal frekuensi defekasi pada sapi perah. Menurut Wahyuni (2010), selama 24 jam sapi perah dalam masa laktasi dapat mengeluarkan feses hingga 25 kali. Selain pakan yang diberikan, jenis ternak, bobot badan, umur, kondisi lingkungan dan temperatur juga berpengaruh terhadap frekuensi defekasi. Menurut Santosa (2004), pemberian pakan akan mempengaruhi jumlah feses yang dikeluarkan, pakan kasar akan mengurangi jumlah feses yang dikeluarkan oleh ternak.  Menurut Vaughan et al. (2014) menyatakan  bahwa frekuensi defekasi akan meningkat diwaktu jam-jam pemerahan dan pemberian pakan.

4.3.      Anatomi Biologis Ambing
            Bagian ambing terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian eksterior dan bagian interior.Bagian eksterior meliputi medial suspensory ligament,lateral suspensory ligament, outer wall dan membrane.  Hal ini sesuai pendapat    Sarwono (2008) yang menyatakan bahwa ambing pada sapi terdiri dari 4 puting dan 4 kuartir yang terpisah.  Setiap kuartir dibatasi oleh membrane dan medial suspensory ligament, bagian pelindung eksterior yaitu outer wall, bagian interior meliputi alveolus, alveoli, lubuli, lobus, gland cistern, milk ductus, treat cistern, streak canal, annular fold.

            Ilustrasi 2. Bagian-bagian Eksterior Ambing
Description: DSC_0365.JPG

1

2

3

4
Keterangan :

1. Medial  
      suspensory ligament
2. Membrane
3. Puting
4. Ligamentum
    suspensorium 
    lateralis




Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.


Berdasarkan praktikum pengamatan anatomi ambing didapatkan hasil bahwa ambing terdiri dari 4 kuartir yaitu kuartir kanan dan kiri yang dipisahkan  oleh medial suspensory ligament serta kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh selaput tipis (membran), selain itu ambing juga terdapat 4 puting yang terpisah.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mukhtar (2006) menyatakan bahwa pada umumnya kuartir depan lebih kecil dibandingkan dengan kuartir belakang, masing-masing kuartir mandiri atau tidak terpengaruh dengan kuartir lainya, ligamentum suspensorium lateralis adalah bagian yang meyelubungi ambing dari luar

Ilustrasi 3.  Bagian-bagian Interior Ambing

Description: DSC_0555.JPG
  1
2
3

4

5
6
Keterangan :

1. Alveoli
2. Milk Ducts
3. Annulard Fold
4. Gland cistern
5. Teat Cistern
6. Streak canal




Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan bahwa organ ambing  terdiri dari alveolus, lumen, gland sistern, annular fold dan teat meatus, di mana alveolus merupakan jaringan terbanyak pada ambing untuk membentuk susu, lumen untuk menampung susu yang telah disintesis, gland cistern untuk menampung susu yang akan dikeluarkan, annular fold untuk menahan susu di dalam ambing terhadap tekanan yang timbul akibat akumulasi susu di dalam gland sistern serta untuk mencegah masuknya bakteri pada saat pemerahan, sedangkan teat meatus sebagai tempat keluarnya susu dari streak canal. Hal ini sesuai dengan pendapat      Damayanti (2006).yang menyatakan bahwabagian ambing yang kecil dan berwarna kemerahan merupakan sel-sel sekretorik yang dibungkus oleh alveoli yang bergabung menjadi satu dibungkus oleh jaringan ikat yang disebut lobulus, sejumlah lobuli membentuk lobus.  Anal fold memiliki fungsi sebagai penahan susu didalam ambing.  Gland cistern merupakan titik pengumpulan saluran dari semua saluran yang ada di dalam ambing dan sebagai tempat penampung atau reservoir susu yang telah disintesis pada selang waktu pemerahan sebelum ke teat cistern.  Ductus memiliki fungsi sebagai penyalur susu ke sisterna. Ambing juga memiliki saluran berongga yang menuju ke streak canal disebut teat cistern.
Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian dalam puting yang paling bawah supaya bakteri tidak dapat masuk.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mukhtar (2006) yang menyatakan bahwa teat cistern adalah rongga yang ada di dalam puting, berada dibawah jaringan sisterna kelenjar dan dibatasi oleh lipatan-lipatan longitudinal dan sirkuler yang saling membentuk overlap sehingga membentuk kantong yang berpotensi sebagai tempat bersarangnya bakteri.  Streak canal berfungsi sebagai dinding-dinding lapisan bagian dalam puting yang paling bawah supaya bakteri tidak dapat masuk.  Teat meatus berfungsi sebagai tempat keluarnya susu dari putting.  Hal ini sesuai dengan pendapat Damayanti (2006) yang menyatakan bahwa teat meatus berfungsi sebagai lubang akhir tempat keluarnya susu dari putting.
Pertumbuhan organ ambing dimulai dari masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama dengan bantuan hormon estrogen, pertumbuhan, kortisol, progesteron, dan prolaktin.  Hal ini sesuai pendapat Frandson (1992) bahwa pertumbuhan kelenjar susu dan laktasi berada di bawah pengaruh hormon.  Menurut Tomaszewska et al. (1991) pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama, pada spesies ternak peliharaan estrogen dan hormone pertumbuhan dan kartisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveolus.  Menurut Sunarko et al. (2009), sel alveoli banyak ditemukan pada dinding alveoli, di dalam ambing terdapat 500.000 alveoli dan untuk membentuk setetes susu memerlukan puluhan ribu alveoli.
Proses sintesis komponen susu terjadi di alveolus sel sekretori kelenjar ambing dengan cara menyerap zat-zat dalam darah terlebih dahulu lalu kemudian disintesis menjadi komponen susu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Jarmuji (2011) yang menyatakan bahwa sintesis susu dilakukan oleh sel-sel sekretori pada kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi.  Menurut Tomaszewska et al. (1991) proses sintesis komponen susu terjadi di sel alveoli kelenjar ambing.
Proses pengeluaran susu terjadi berawal dari rangsangan yang kemudian melewati sumsum tulang lalu ke hipotalamus, hal ini menyebabkan oksitosin dikeluarkan dan terjadilah proses pengeluaran air susu.  Rangsangan yang ditimbulkan dari proses menyusu menghasilkan impuls yang melewati sumsum tulang ke hipotalamus, ini menyebabkan dikeluarkannya oksitosin dari kelenjar pituitari posterior atau neuro hipofisis dan terjadinya refleks pancaran air susu.  Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyowati dan Erwanto (2009) bahwa hormon oxytocin dapat merangsang keluarnya air susu (milk let down).  Hanafi (2007) menyatakan bahwa otot di sekitar alveoli berkontraksi karena adanya hormon oksitosin, kemudian air susu di dalam alveoli akan terperas keluar dan mengalir ke saluran-saluran susu dan secara bertahap akan makin besar ukurannya ke saluran primer, saluran primer mengalirkan susu ke gland cistern.

            Ilustrasi 4. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu










Rounded Rectangle: Stimulasi
Oval: Hipotalamus


Oval: Impuls
Rounded Rectangle: OTAK
 
                                               


 








Sumber: Data Primer Praktikum Produksi Ternak Perah, 2015.

4.4.      Berat Jenis Susu
            Berdasarkan hasil praktikum diperoleh hasil berat jenis susu segar sebesar 1,028 g/ml dan berat jenis susu olahan sebesar 1,027 g/ml. Berdasarkan hasil ini berat jenis susu olahan sudah sesuai dengan standar susu yaitu 1,0270 g/ml, sedangkan berat jenis susu segar berada di bawah standar. Hal ini sesuai dengan SNI 01-3141-2011 bahwa standar berat jenis susu adalah sebesar 1,0270 g/ml. Rendahnya berat jenis susu olahan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu proses penyimpanan dan pengemasan yang dapat menurunkan kualitas susu. Berat jenis dipengaruhi oleh kandungan yang terlarut di dalam susu dan bahan kering serta kandungan lemak susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami et al. (2013) yang menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh kandungan yang terlarut di dalam susu dimana semakin banyak senyawa yang terdapat dalam susu maka berat jenis susu akan meningkat. Hal ini didukung oleh pendapat Mardalena (2008) yang menyatakan bahwa berat jenis susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu dimana semakin tinggi kadar lemak susu maka semakin rendah berat jenisnya.

4.5.      Recording                                                                        
            Berdasarkan hasil praktikum rekording dapat diketahui bahwa sapi PFH betina dengan kode D tidak memiliki nomor sapi dikarenakan sapi PFH kode D belum pernah di inseminasi selama pemeliharaan dikandang sapi perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.  Sapi PFH betina kode D pertama kali datang ke kandang sapi perah berada dalam keadaan bunting dengan lama kebuntingan sekitar 6 bulan, kemudian partus pada bulan November 2014 dan melahirkan pedet betina dengan bobot lahir 33 kg.  Produksi susu rata-rata yang dihasilkan adalah 224 liter/laktasi.  Kondisi sapi PFH betina kode D memiliki kondisi kesehatan yang baik.  Menurut Hakim et al. (2010), variabel yang biasanya dicatat dalam kegiatan rekording ternak meliputi identitas sapi, performans produksi (khusus pada sapi perah ditambah dengan data produksi susu), performans reproduksi serta kondisi kesehatan ternak.  Kegiatan rekording yang telah dilakukan pada pemeliharaan sapi perah PFH masih kurang lengkap yaitu tidak lengkap pada data identitas ternak meliputi tidak terdapat data silsilah sapi dan tanggal lahir sapi. Kurang lengkapnya data rekording pada data silsilah sapi dan tanggal lahir sapi dapat di lengkapi dengan mengevaluasi ternak berdasarkan gigi poel untuk mengetahui umur sapi, serta ciri-ciri dan karakteristik sapi untuk mengetahui jenis bangsa sapi. Azizah et al. (2013) menyatakan bahwa rendahnya tingkat produktivitas ternak sapi perah di Indonesia dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau keterampilan peternak yang mencakup aspek penerapan sistem pencatatan, reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit.



BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1.      Simpulan
            Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa fisiologi lingkungan meliputi suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak terhadap jumlah produktivitas ternak dan performans ternak sapi perah. Ambing sapi perah memiliki bagian antara lain puting, teat meatus, teat cistern, annular fold, gland cistern, lumen, milk duct, alveoli, ligamentum suspensori medialis, ligamentum suspensori lateralis dan membrane.  Air susu keluar setelah mendapat stimulus sehingga impuls akan dikirim ke hipotalamus untuk mensekresikan hormon oxytosin agar mio epitel terangsang untuk mengeluarkan air susu. Berat jenis susu segar dalam prakitikum berada pada kisaran berat jenis normal yaitu 1,0270 g/ml.  Kegiatan recording dalam pemeliharaan sapi PFH masih kurang lengkap yaitu tidak lengkapnya data pada identitas ternak, namun kegiatan pencatatan dapat dikatakan cukup baik karena terdapat data pencatatan hasil produksi susu sapi harian.
5.2.      Saran
            Kegiatan pencatatan atau rekording sebaiknya lebih diperhatikan mengingat data rekording ternak masih kurang lengkap sehingga sulit dalam mengevaluasi usaha pemeliharaan ternak di kandang sapi perah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S., H. Nugroho and W. Busono. 2013. The HTC (Heat Tolerance Coefficient) of Cattle Heifers Before and After Concentrating in Low-Land Areas. Faculty of Animal Husbandry Brawijaya University, Malang.

Azizah., Kusnoto., dan S. H. Warsito. 2013. Analisis usaha peternakan sapi perah “Bejo” di Tenggumung Wetan kota Surabaya. J. Agroveteriner. 1(2): 37-45.

Damayanti, L. T. 2006. Laktasi Pada Sapi Perah Sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. (Skripsi).

Hakim, L., G. Ciptadi., dan V. M.A. Nurgiartiningsih. 2010. Model rekording data performans sapi potong lokal di Indonesia. J. Ternak Tropika. 11(2): 61-73.

Hanafi, M. 2007. Pengaruh Mastitis Terhadap Kadar Total Bahan Kering Dan Bahan Kering Tanpa Lemak Susu Di Unit Peternakan Kutt Suka Makmur Grati Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas  Brawijaya. Malang (Skripsi).

Haryadi, M. 2008. Sukses Usaha Pembibitan Sapi & Kambing. Pustaka Baru Press,           Yogyakarta.

Hilmia, N. 2007. Heritabilitas sifat-sifat reproduksi sapi Fries Holland . J. Ilmu Ternak. 7(2): 157-160.

Jarmuji. 2011. Nilai korelasi antara ukuran tubuh dan ambing induk domba lokal jonggol terhadap produksi susu. Agrinak. 1 (1):52-55.

Malaka, R. 2010. Pengantar Teknologi Susu. Masagena Press. Makassar.
Mardalena. 2008. Pengaruh Waktu Pemerahan dan Tingkat Laktasi Terhadap Kualitas Susu Sapi Perah Peranakan Fries Holstein. J. Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan.11 (3) : 107 - 111.Universitas Jambi.
Mauladi, A, H. 2009. Suhu Tubuh, Frekuensi Jantung dan Nafas Induk Sapi Frisien Holstein yang Divaksinasi dengan Vaksin Avian Influenza H5N1. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu Produksi Ternak Perah. LPP UNS dan UNS Press. Surakarta.

Nainggolan, Y D A. 2013. Studi Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) Oleh Peternak Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi.

Nainggolan, Y D A. 2013. Studi Eksploratif Upaya Kesehatan Sapi Potong Peranakan Ongole (PO) Oleh Peternak Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Sumatera Utara. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Skripsi.

Nardone A, C. T. Kadzere, dan E. Maltz. 2010. Effects of climate change on animal production and sustainability of livestock systems. Livest. Prod Sci. 130 (1-3) :57-69.

Nurhadi, M., 2010. Dimensi Sosiologis dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sapi Perah. 25 (2) : 79 - 90. Universitas Sebelas Maret.

Palulungan, J. A., Adiarto dan Tety Hartatik. 2013. Pengaruh Kombinasi Pengkabutan dan Kipas Angin Terhadap Kondisi Fisiologis Sapi Perah Peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan. 37 (3) : 189-197.

Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang. (Tesis).

Robichaud, M.V., A. M. de Passillé, D. Pellerin and J. Rushen. 2011. When and where do dairy cows defecate and urinate. J. Dairy Sci. 94: 4889–4896.

Rustamadji, B. 2004. Dairy Science I.
Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Salundik., Suryahadi., S. S. Mansjoer., D. Soepandi dan W. Ridwan. 2008. Analisis Kualitas Fisik dan Kimia Susu Sapi Perah dengan Pakan Klobot Jagung dari Limbah Organik Pasar. 15 (4) : 116 - 122. Institut Pertanian Bogor.
Santosa, B. A. 2004. Buku Petunjuk Praktikum Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Sarwono, B. 2008. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.

Schutz, K.E., A.R. Rogers, N.R. Cox NR, and C.B. Tucker. 2009. Dairy cows prefer shade that offers greater protection against solar radiation insummer: shade use, behavior, and body temperature. Appl Anim Behav Sci 116 : 28 – 34.

Sientje. 2003. Stres Panas Pada Sapi Perah Laktasi. IPB, Bogor.

Siregar, S. B. 2001. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, S. B. 2007. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Soeharsono. 2010. Fisiologi Ternak: Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi dan      Interaksi Organ pada Hewan. Widya Padjajaran, Bandung.

Sudrajad, P. dan Ardiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Semarang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Sunarko, C., B. Sutrasno, TH. Siwi, A. Kumalajati, H. Supriyadi, A. Marsudi dan Budiningsih. 2009. Petunjuk Pemeliharaan Bibit Sapi Perah. BPPTU Sapi Perah Baturaden, Purwokerto.

Susilawati, E dan Masito. 2010. Teknologi Pembibitan Ternak Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jambi.

Sutopo. 2001. Pengaruh Pemberian PMSG Terhadap Pertumbuhan Ambing dan Produksi Susu pada Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.  (Tesis).

 

Syarif, K. E. dan B. Harianto. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.

 

Tomaszewska, W., Sutama, Putu, dan D. Chaniago.1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Umar., Razali dan A. Novita. 2014. Derajat Keasaman dan Angka Reduktase Susu Sapi Pasteurisasi dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda. J. Medika Veterinaria. 8 (1) : 43 - 46. Universitas Syiah Kuala.

Utami, K. B., L. E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2013. Kajian Kualitas Susu Sapi Perah PFH (Studi Kasus pada Anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). J. Ilmu-Ilmu Peternakan. 24 (2) : 58 – 66. Universitas Brwaijaya.

Utomo, B., D. P. Miranti dan G. C. Intan. 2009. Kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan. J. Teknologi Peternakan danVeteriner : 263 – 268.
Vaughan Alison, Anne Marie de Passillé, Joseph Stookey, and Jeffrey Rushen.2014. Urination and defecation by group-housed dairy calves. J. DairySci. 97 :1 – 7.
Wahyuni M.P., Sri., 2010. Biogas, Penebar Swadaya, Jakarta.

Yani, A. dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. J. Media Peternakan.39 (1): 35 – 46.

Yani, A., H. Suhardiyanto, R. Hasbullah dan B.P. Purwanto. 2005. Analisis dan    simulasi distribusi suhu udara pada kandang sapi perah menggunakan          computational fluid dynamics (CFD). J. Media peternakan 30 (3): 218-228.

Yasothai, D. 2014. Effect of climate on nutrient intake and metabolism and           countering heatstress by nutritional manipulation. International Journal of      Science, Environment and Technology. 3(5): 1685.




LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Radiasi Matahari
Rumus Radiasi Matahari
R = σT4
Keterangan :   R = Radiasi matahari( Kcal/m2/jam)
                        Σ = Konstanta Stefann Boltzman( 4,903 x 10-8)
                        T = Suhu mutlak dalam kelvin (273 +°C)
1.      Perhitungan radiasi matahari pukul 18.00
R = σT4
    = 4,903 x 10-8x (273 + 26°C)4
    = 4,903 x 10-8 x (299)4
    = 391,87 kCal/m2/jam

2.      Perhitungan radiasi matahari pukul 24.00
R = σT4
    = 4,903 x 10-8 x (273 + 23°C)4
         = 4,903 x 10-8 x (296)4
         = 376,6 kCal/m2/jam

3.      Perhitungan radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
    = 4,903 x 10-8 x (273 + 23°C)4
         = 4,903 x 10-8 x (296)4
         =  376,6 kCal/m2/jam

4.      Perhitungan radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
    = 4,903 x 10-8 x (273 + 35°C)4
         = 4,903 x 10-8 x (308)4
         = 436,3 kCal/m2/jam

5.      Perhitungan radiasi matahari pukul 06.00
R = σT4
    = 4,903 x 10-8 x (273 + 27°C)4
         = 4,903 x 10-8 x (300)4
         = 397,1 kCal/m2/jam

Lampiran 2. Perhitungan Berat Jenis Susu
  • Susu Segar

       BJ susu = berat jenis terukur – (27,5-T) x 0,0002
= 1,028 –  (27,5 – 28) x 0,0002
= 1,029 – (-0,05 x 0,0002)
= 1,029 + 0,0001
= 1,0281
= 1,028 g/ml

  • Susu Olahan

         BJ susu = berat jenis terukur – (27,5-T) x 0,0002
 = 1,027 –  (27,5 – 29) x 0,0002
 = 1,027 – (-1,5 x 0,0002)
 = 1,029 + 0,0003
 = 1,0273           
 = 1,027 g/ml



0 komentar:

Posting Komentar

Information

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Animal Husbandry - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by
Proudly powered by Blogger